Indonesia merupakan negara dengan pluralisme yang sangat tinggi, tak terkecuali dalam hal beragama. Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.Â
Di luar keenam agama yang diakui ini, masih terdapat 117.412 jiwa penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan (Kemendagri, 2022). Â Dengan pluralisme yang seperti ini tentu akan ada banyak warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama.Â
Di Indonesia, keterlibatan agama dalam pernikahan memiliki peran yang sangat besar, antara lain dalam membuat seseorang bisa atau tidak bisa melangsungkan perkawinan. Â
Pernikahan sendiri diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Warga negara Indonesia yang hendak melakukan pernikahan beda agama akan menemui kesulitan, sebab hukum perkawinan di Indonesia belum memfasilitasi terjadinya hal tersebut.
Dasar Hukum terkait Pernikahan Beda Agama
Dasar hukum yang tidak mendukung pernikahan beda agama tidak secara tegas menyebutkan bahwa ada laranagan untuk pernikahan beda agama. Adapun dasar hukum yang tidak mendukung terjadinya pernikahan beda agama di Indonesia yang pertama dapat ditemui pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Artinya, perkawinan yang tidak dilakukan menurut agama dan kepercayaan dianggap tidak sah.Â
Kemudian, Pasal 8 UU Perkawinan tentang larangan perkawinan yang pada huruf (f) dapat dikaitkan dengan berbeda agama hanya berbuyi "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin." Walaupun terlihat cukup jelas karena kebanyakan agama di Indonesia melarang pernikahan beda agama, namun masih memberikan ruang untuk multitafsir. Â
Cara yang Populer Merupakan Penyelundupan HukumÂ
Menurut Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof. Wahyono Darmabrata, bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan, ada 4 cara yang dapat dilakukan, yaitu adalah dengan penetapan pengadilan,melakukan perkawinan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan melangsungkan perkawinan di luar negeri.Â
Perkawinan campuran di luar negeri sering didasarkan pada Pasal 56 yang merefleksikan asas lex loci celebrationis, yang berarti mengikuti hukum negara tempat perkawinan itu dilangsungkan. Cara-cara ini sebenarnya merupakan penyelundupan hukum.Â