Mohon tunggu...
Excella Junghans
Excella Junghans Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Angkatan 2022

Saya suka naik gunung, membaca buku Haruki Murakami, dan menonton film bergenre romance yang tragis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengapa Harus Ada Peraturan yang Memperbolehkan Pernikahan Beda Agama

4 Juni 2023   13:22 Diperbarui: 4 Juni 2023   13:24 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perkawinan. Foto: Carsten Vollrath/Pexels. 

Indonesia merupakan negara dengan pluralisme yang sangat tinggi, tak terkecuali dalam hal beragama. Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. 

Di luar keenam agama yang diakui ini, masih terdapat 117.412 jiwa penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan (Kemendagri, 2022).  Dengan pluralisme yang seperti ini tentu akan ada banyak warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama. 

Di Indonesia, keterlibatan agama dalam pernikahan memiliki peran yang sangat besar, antara lain dalam membuat seseorang bisa atau tidak bisa melangsungkan perkawinan.  

Pernikahan sendiri diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Warga negara Indonesia yang hendak melakukan pernikahan beda agama akan menemui kesulitan, sebab hukum perkawinan di Indonesia belum memfasilitasi terjadinya hal tersebut.

Dasar Hukum terkait Pernikahan Beda Agama

Dasar hukum yang tidak mendukung pernikahan beda agama tidak secara tegas menyebutkan bahwa ada laranagan untuk pernikahan beda agama. Adapun dasar hukum yang tidak mendukung terjadinya pernikahan beda agama di Indonesia yang pertama dapat ditemui pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Artinya, perkawinan yang tidak dilakukan menurut agama dan kepercayaan dianggap tidak sah. 

Kemudian, Pasal 8 UU Perkawinan tentang larangan perkawinan yang pada huruf (f) dapat dikaitkan dengan berbeda agama hanya berbuyi "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin." Walaupun terlihat cukup jelas karena kebanyakan agama di Indonesia melarang pernikahan beda agama, namun masih memberikan ruang untuk multitafsir.  

Ilustrasi Perkawinan. Foto: TranStudios Photography & Video/Pexel  
Ilustrasi Perkawinan. Foto: TranStudios Photography & Video/Pexel  
Cara yang Populer Merupakan Penyelundupan Hukum 

Menurut Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof. Wahyono Darmabrata, bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan, ada 4 cara yang dapat dilakukan, yaitu adalah dengan penetapan pengadilan,melakukan perkawinan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan melangsungkan perkawinan di luar negeri. 

Perkawinan campuran di luar negeri sering didasarkan pada Pasal 56 yang merefleksikan asas lex loci celebrationis, yang berarti mengikuti hukum negara tempat perkawinan itu dilangsungkan. Cara-cara ini sebenarnya merupakan penyelundupan hukum. 

Penyelundupan hukum dapat diartikan sebagai pelaku penyelundupan menghendaki untuk tidak berlakunya suatu sistem hukum karena akan menimbulkan akibat hukum yang tidak dikehendaki. 

Kekosongan Hukum

Tidak adanya peraturan hukum yang bisa dijadikan dasar yang resmi untuk boleh atau tidak bolehnya melaksanakan pernikahanbeda agama menciptakan ruang untuk kekosongan hukum. 

Adanya kekosongan hukum dalam hal perkawinan beda agama membuat beberapa pihak bebas menafsirkan UU Perkawinan. Salah satu contohnya adalah pada kasus Kepala KUA dan Pegawai Pencatat Luar Biasa Pencatat Sipil DKI Jakarta yang menolak mencatat perkawinan beda agama dengan merujuk kepada Pasal 60 UU Perkawinan. 

Kasus ini kemudian diputus oleh Mahkamah Agung melalui Keputusan MA  No.1400 K/Pdt/1986. Pasal 60 pada UU Perkawinan bicara tentang Pejabat di Kantor Catatan Sipil dapat menolak untuk memberikan surat keterangan agar seseorang dapat menikah bilamana mendapati ada syarat-syarat untuk melangsungkan "perkawinan campuran" yang tak dipenuhi oleh kedua calon mempelai. Penafsiran tersebut keliru karena Pasal 60 berbicara tentang perkawinan campuran beda kewarganegaraan, bukan beda agama.

Adanya kekosongan hukum dalam hal ini yang membuka ruang bagi penafsiran secara bebas akan menghasilkan tidak adanya kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum akan mengarah kepada tidak adanya rasa keadilan bagi masyarakat. 

Seperti dalam contoh kasus yang telah disebutkan sebelumnya, akan terasa tidak adil bagi calon mempelai yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya dengan alasan yang sebenarnya merupakan kegagalan dari pejabat di Kantor Catatan Sipil untuk menafsirkan makna yang sebenarnya dari suatu pasal. Pejabat tersebut menggunakan satu ketentuan untuk mengatur situasi yang sebenarnya berbeda konteks dengan yang diatur pada ketentuan tersebut. 

Pernikahan di Mata Hak Asasi Manusia 

Menikah seharusnya merupakan pilihan bebas, yang berarti bahwa seseorang bebas memilih orang lain untuk dijadikan pasangan hidupnya dan tak dapat dihalangi oleh agama sekalipun. 

Hal ini dengan jelas termaktub dalam Pasal 16 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi "Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.

 

Ilustrasi Perkawinan. Foto: Carsten Vollrath/Pexels. 
Ilustrasi Perkawinan. Foto: Carsten Vollrath/Pexels. 
Berbagai Aliran dalam Agama dalam Menyikapi Perkawinan Beda Agama 

Apabila pembahasan ini ditarik kembali pada boleh atau tidaknya perkawinan beda agama dilakukan berdasarkan agama, juga akan terjadi multitafsir. Di dalam satu agama bisa terdapat banyak aliran yang membagi menjadi kelompok-kelompok yang memiliki tafsiran berbeda tentang perkawinan beda agama, 

Misalnya dalam agama Islam, dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 dikatakan bahwa perkawinan beda agama dilarang, baik bagi laki-laki maupun perempuan (Abdul Rozak, 2011). 

Sementara itu, berdasarkan Al-Quran dan tafsirnya, kelompok penterjemah dan penafsir Kementerian Agama Republik Indonesia, berpendapat bahwa halal bagi seorang laki-laki mukmin kawin dengan perempuan Ahlul-kitab, yaitu mereka dari Kaum Yahudi dan Nasrani. 

Berkaca pada hal ini, Kadek Wiwik Indrayanti, dalam bukunya "Pluralisme Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama", pernah berpendapat bahwa "Negara seharusnya jangan memaksa agar setiap warga negara tunduk pada suatu penafsiran yang dianut negara atas masing-masing agama dan kepercayaan." Agama merupakan sesuatu yang sangat pribadi dari diri manusia dan manusia mempunyai kebebasan dalam bagaimana ia memilih untuk menjalankan agamanya. Tidak semua orang cukup taat untuk mengikuti seluruh perintah agama, misalnya apakah ia mengindahkan larangan perkawinan beda agama atau tidak, dan sekali lagi terdapat beberapa aliran di dalam suatu agama dan tidak bisa untuk memaksakan salah satu aliran dan memukul rata. 

Apabila pemerintah ingin membuat ketentuan baru untuk mengakomodir perkawinan beda agama, hal tersebut akan menjadi solusi segar yang pasti akan mengisi kekosongan hukum. 

Apabila kekosongan hukum ini dapat terisi, akan menghasilkan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi semua orang. Tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan dengan penyelundupan hukum juga dapat dihindarkan. 

Pengaturan untuk mengakomodir perkawinan beda agama juga akan menjadi penghargaan yang luar biasa terhadap pluralisme di Indonesia, Terakhir, tujuan mulia untuk menegakkan hak asasi manusia untuk dapat menikah dengan pilihan bebas dapat benar-benar terlaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun