Bangsa Indonesia telah berhikmat menentukan arah negara merdeka yang dibentuknya untuk mengorganisasikan bangsanya. Arah tersebut termanifestasi dalam visi abadi negara yakni menjadi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Visi tersebut dicapai dengan misi abadi negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadian sosial. Keinginan luhur yang terwujud dalam visi misi abadi tersebut bersifat mendasar dan autentik dari jiwa bangsa Indonesia. Keinginan luhur ini membutuhkan estafet kepemimpinan untuk meneruskan perjuangan yang sesuai dengan dinamika zaman dan kemajuan peradaban.
Dinamika kebimbangan selalu terjadi saat momentum estafet kepemimpinan republik ini setiap periode. Problemnya adalah mayoritas rakyat Indonesia raya masih terjebak dalam pikiran dan kesadaran sektarian. Masyarakat yang masih menganggap harga mati untuk mendukung dan menempatkan individu atau kelompok tertentu berdasarkan kalkulasi pragmatisme sektoral jangka pendek yang bersifat sentimental. Tren ini sangat jauh bertentangan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang hendaknya dilaksanakan dengan musyawarah untuk mengkomunikasian perbedaan. Era yang diprediksi akan menjadi era informasi dan komunikasi berpotensi berubah menjadi era disinformasi dan miskomunikasi.
Keresahan ini memerlukan sebuah petunjuk jalan, petunjuk mengenai kepemimpinan sejati nasional sudah tercantum dalam pembukaan konstitusi kita yang mencakup visi dan misi abadi negara sampai sebuah falsafah bangsa. Founding leaders terdahulu telah memiliki kesadaran mendalam dan visioner, karena organisasi sebesar negara Indonesia tidaklah mungkin meletakkan konsep kepemimpinan berdasar figur seseorang. Pembangunan sistem kepemimpinan menjadi konsep dasar yang diletakkan berdasarkan nilai kebijaksanaan kolektif dalam proses mengolah pikiran sebuah bangsa.
Petunjuk jalan ini akan mengarahkan kita pada paradigma besar kepemimpinan Indonesia yang berkelanjutan. Paradigma kepemimpinan Indonesia terukir jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada paragraf keempat yang dikenal sebagai falsafah bangsa yakni Pancasila. Sila keempat falsafah Pancasila menjadi acuan dasar paradigma kepemimpinan Indonesia lintas zaman dan lintas generasi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan menjadi frasa utama dalam proses berpikir dan mengolah nurani sebagai paradigma abadi kepemimpinan Indonesia.
Hikmat untuk Kebijaksanaan
Bangsa ini didirikan oleh kumpulan pikiran, sehingga bangsa ini menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan prinsip "The Government of the Reason, Through Government by the People", yakni pemerintahan yang berasal dari akal dan nurani yang digerakan pelaksanaanya melalui pemerintahan orang-orang yang berasal dari rakyat. Pemerintahan dari jiwa yang dilaksanakan oleh raga, jiwa kolektif bangsa Indonesia yang berhikmat harus merasuki raga para pemegang jabatan negara untuk melahirkan kebijaksanaan. Jiwa setiap rakyat harus mampu menembus raga setiap pemimpin bangsa. Jadi paradigmanya adalah kepemimpinan bangsa harus ditekankan berdasarkan sistem (by system) yang berfalsafah etik, bukan berdasarkan figur (by figure) yang subjektif.
Sejatinya rakyat hanya dipimpin oleh kehikmatan untuk mendapatkan kebijaksanaan melalui musyawarah untuk mufakat mencari formulasi terbaik bagi seluruh golongan yang dilaksanakan oleh wakil-wakil rakyat dengan asas meritokrasi melalui lembaga-lembaga negara yang sudah disepakati bersama. Pemimpin kita bukanlah individu, tapi individu itulah yang kita yakini memiliki kemampuan berhikmat untuk menghasilkan kebijaksanaan yang berakar dari rakyat Indonesia. Pengelolaan negara harus didasarkan pada pemerintahan yang mengedepankan prinsip meritokrasi untuk mengakomodasi talenta unggul dalam mewujudkan keinginan luhur.
Rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi, konsep negara republik wajib mengembalikan kedaulatan dipegang penuh oleh keinginan luhur publik yang diselenggarakan oleh individu sebagai insan pilihan dalam pemerintahan. Insan pilihan tersebut adalah wakil-wakil rakyat yang diusung untuk menduduki jabatan eksekutif, legislatif dan yudikatif itulah yang dalam tugas dan periode tertentu disebut sebagai pemimpin struktural formal rakyat. Rakyat sebagai insan politik sejati adalah orang-orang pemikir yang mampu menyeberangkan gagasan dari rakyat ke elit pemerintah sebagai pimpinan operator negara untuk diolah.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mensimulasikan keadaan dengan berbagai kemungkinan untuk memproyeksikan masa depan, hal ini hanya dapat terwujud jika pemimpin tersebut memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang komprehensif tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Hasil simulasi pilihan pemimpin ini yang akan diolah menjadi pilihan kebijakan yang akan diputuskan melalui metode musyawarah untuk mufakat terhadap kebijakan yang dianggap terbijak dan meminimalisir risiko. Atas dasar tersebut, diperlukan pemimpin yang kompeten dan berpengalaman dilihat dari integritas rekam jejaknya.
Hikmat dipandang sebagai suatu keadaan dalam diri setiap insan yang memiliki kemampuan mendalam untuk meraih nikmat intelektual serta spiritual sehingga mampu mencapai titik optimal dalam mengolah semesta. Hikmat diraih dengan kesadaran insan manusia yang jiwanya tercerahkan olah Sang Pencipta, insan yang senantiasa bertakwa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan untuk mencapai kesempurnaan. Tuhan Yang Maha Esa menginginkan setiap insan selalu berkesadaran dan berkomitmen untuk senantiasa menyucikan jiwa dan raganya. Jiwa dan raga yang suci menyokong kemampuan insan untuk terjaga dalam kehikmatan. Setiap rakyat sebagai insan yang mengaku bertanah air Indonesia wajib berhikmat dalam setiap langkah hidupnya.
Kebijaksanaan merupakan hasil luaran yang didapatkan melalui proses panjang dan mendalam serta kritis untuk memandang peristiwa semesta. Kebijaksanaan adalah hasil kolektif dari insan-insan yang berhikmat yang saling berinteraksi dalam sebuah peradaban luhur. Semakin unggul peradaban sebuah bangsa, semakin tinggi tingkat kebijaksanaanya. Sejarah panjang menunjukan bahwa kemuliaan sebuah bangsa ditentukan dari kebijaksanaan yang dilahirkan. Kebijaksanaan selalu menjadikan intelektualitas dan moralitas sebagai sebuah dasar fundamental. Bangsa yang kebijaksanaanya telah teruji kemaslahatannya akan menyumbang kemajuan peradaban, sejarah dipastikan mencatat dan mengingat kegemilangannya.
Musyawarah adalah metode untuk mengakumulasi kebijaksanaan dari jiwa-jiwa rakyat yang berhikmat. Musyawarah menjadi ruang perdebatan dan pertengkaran pikiran sehingga dialektika terjadi. Pikiran tersebut diolah menjadi gagasan dan permusyawaratan menjadi majelis tertinggi untuk memutuskan kebijaksanaan. Hanya insan berhikmat yang mampu mengoperasikan media musyawarah dengan baik, karena musyawarah akan bersepakat untuk tidak bersepakat, memahami mana yang seharusnya dipertentangkan dan mana seharusnya yang tidak dipertentangkan. Mufakat dalam demokrasi konstitusional, seluruh rakyat sebagai konstituen akan terikat secara konstitusional dalam bernegara.
Perwakilan dipandang sebagai wujud akomodatif demokrasi langsung, karena kendala luas wilayah dan jumlah penduduk. Perwakilan hendaknya menekankan fungsi representasi rakyat, jabatan hanyalah sementara dan periodik, rakyat dalam tugas dan periode tertentu akan jadi pemegang jabatan atau aparat, begitu juga sebaliknya pemegang jabatan akan kembali menjadi rakyat setelah tuntas bertugas. Secara genetika politik, kualitas perwakilan merupakan cerminan dari yang diwakilinya, oleh karena itu pejabat adalah cerminan rakyat dan aparat adalah cerminan masyarakat. Konstitusi mengukuhkan lembaga perwakilan sebagai forum akumulasi jiwa-jiwa rakyat dengan raga perwakilannya yang berhikmat untuk mengoperasikan perwusyawaratan sebagai majelis tertinggi pengambilan keputusan.
Kesadaran Penuh
Rakyat sebagai warga negara hendaknya memiliki kesadaran penuh bahwa rakyat merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang menyelenggarakan organisasi besar negara dan membentuk pemerintahan untuk melaksanakan kehendak rakyat. Pemerintah yang terbentuk dipandang sebagai otak kolektif bangsa Indonesia, otak kolektif diwujudkan melalui rakyat yang berpikir kritis serta berdaulat dalam berkepribadian. Pemahaman dan kesadaran rakyat sebagai warga negara (civic literacy) harus dibangun, dipertahankan dan dikembangkan dengan pembaruan wawasan tentang politik negara dan dunia agar tetap relevan dengan peradaban yang berkembang dan berkemajuan. Rakyat dengan pemahaman politik bernegara yang komprehensif akan menghasilkan susunan pemegang jabatan pemerintahan yang manifestonya tunduk pada kehendak rakyat.
Buka ruang komunikasi yang luas dan adaptif sebagai arena menguji dan mengkaji perwakilan rakyat beserta gagasannya yang akan memegang jabatan pemerintahan agar autentikasi pikiran berbasis intelektualitas dan moralitas pemimpin terpublikasi dengan baik. Penentuan pemegang jabatan dibentuk melalui proses mekanisme seleksi pemilihan terbuka, jika proses pemilihan umum diselenggarakan dengan penuh integritas, maka pemerintahan yang terbentuk akan terhormat dan berwibawa karena mendapatkan legitimasi dari rakyat yang puas terhadap proses. Hal tersebut yang menjadi pilar utama dalam demokrasi konstitusional yakni kepercayaan antar pihak.
Janganlah menjadi rakyat yang kejam, rakyat yang membiarkan individu tak berhikmat memegang jabatan, rakyat yang tak peduli dan diam ketika penyelengaraan negara tidak dilaksanakan berdasarkan kebijaksanaan. Sebuah tindakan kejam, ketika rakyat tidak menolong pemimpinnya dari kehancuran, kejam ketika rakyat membiarkan pemimpinnya kehilangan harga diri karena tidak berintegitas dan dituntun oleh keserakahan. Sungguh berat menjadi pemimpin ditengah rakyat yang tak peduli bahkan tak berakal dan berhati. Jadikanlah estafet kepemimpinan setiap periode menjadi ajang evaluasi bukan hanya bagi kandidat pemegang jabatan, namun juga menjadi evaluasi bagi rakyat.
Kontrol Rakyat
Kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan negara yang dioperasikan oleh pemerintah harus berdasarkan pikiran dan sikap kritis yang mengacu pada norma tertinggi. Sistem kontrol internal sudah terjadi antara lembaga eksekutif, legisatif dan yudikatif yang saling mengontrol dan menjaga keseimbangan (checks and balances) dalam sistem pemisahan kekuasaan trias politica. Penekanan yang perlu dilakukan ialah bagaimana mengontrol ketiga lembaga negara tersebut agar tetap menjaga independensi berdasar nalar kritis. Sistem kontrol kedua yakni yang bersifat eksternal oleh rakyat, bagaimana rakyat mengontrol insan-insan pembawa hikmat rakyat sebagai pemegang jabatan pemerintahan yang diharapkan menghasilkan kebijaksanaan tetap berjalan di jalan yang lurus, yakni jalan insan-insan yang yang tetap berintegritas sesuai kehendak rakyat.
Evolusi manusia terjadi karena kita tidak hanya sebagai citizen yakni organisme yang hidup di darat, tetapi juga sebagai internet citizen/ netizen yakni organisme yang hidup di udara. Oleh karena itu di era digital ini, kolom komentar media sosial adalah salah satu cerminan percakapan publik. Ruang publik digital tersebut yang mudah diakses oleh setiap rakyat hendaknya dijadikan ruang untuk mengajukan gagasan dan mengontrol insan politik yang memegang jabatan publik sebagai wujud kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Ruang publik digital dapat merekam dan mengawasi setiap pikiran, perkataan dan perbuatan dari setiap pemegang jabatan publik. Kemajuan teknologi peradaban membuka akses dalam genggaman setiap rakyat untuk bertindak secara hikmat untuk mengawasi kebijaksanaan yang dihasilkan oleh setiap pemegang jabatan.
Alangkah revolusionernya jika masa periode pemegang jabatan pemerintahan hanya dibatasi satu periode sebagai wujud sistem kontrol regulatif konstitusional untuk mencegah otoritarian tumbuh dan berkembang. Otoritarian sangat bertentangan dengan gagasan demokrasi dan bentuk republik yang telah dimufakati oleh founding leaders yang memiliki konsep kepemimpinan berkelanjutan untuk tetap mengutamakan kedaulatan rakyat. Hal ini sejalan dengan esensi demokrasi untuk membatasi kekuasaan dan membuat sirkulasi elit dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Rangkaian peristiwa dalam perjalanan bangsa sampai pembentukan negara selalu berasal dari kesadaran menggunakan referensi intelektual dan gagasan autentik dari setiap insan founding leaders. Pertentangan pikiran dinampakkan dalam argumen logis, sehingga gagasan bukan berdasarkan egosentrisme individu maupun kelompok. Bias perselisihan dapat diminimalisir jika intelektualitas dan moralitas diletakan sebagai dasar pembentuk paradigma. Sebagai pemilik kedaulatan tertinggi republik ini, rakyat berkewajiban untuk menjaga marwah dalam sistem demokrasi yang berasaskan meritokrasi, sesuai dengan visi luhur bangsa ini untuk melunasi janji kemerdekaan.
Jadi, Rakyat Indonesia Dipimpin Siapa?
Sejatinya rakyat hanya dipimpin oleh kehikmatan untuk mendapatkan kebijaksanaan melalui musyawarah untuk mufakat mencari formulasi terbaik bagi seluruh golongan yang dilaksanakan oleh wakil-wakil rakyat dengan asas meritokrasi melalui lembaga-lembaga negara yang sudah disepakati bersama. Pemimpin kita bukanlah individu, tapi individu itulah yang kita yakini memiliki kemampuan berhikmat untuk menghasilkan kebijaksanaan yang berakar dari rakyat Indonesia. Segenap rakyat Indonesia sebagai individu wajib secara sadar dan sukarela menyediakan kualitas dirinya dengan sepenuh jiwa dan raga berbasis prinsip meritokrasi untuk memegang jabatan penyelenggara negara saat bangsa memanggil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H