"Dasar pembawa sial!"
"Mati saja kau!"
. Mereka melempariku dengan batu dan kotoran kerbau. Kudengar teriakan yang kian bergemuruh. Salah satu batu mengenai telingaku, membuat gemuruh tadi menjadi dengungan panjang. Kepala suku berdiri diatas altar, berancang-ancang untuk pidato.
"Saudara-saudaraku sekalian. Senasib dan sepenanggungan. Lihatlah betapa menyedihkannya si laknat ini. Sesalku tak tahu bahwa permintaan arwah leluhur untuk memperbesar organ intimnya dulu bukanlah suatu bencana. Mari kita serahkan kembali ia kepada arwah leluhur kita. Sudah sewajarnya ia menjadi tumbal."
Mendengar perkataanya membuatku sakit hati, sikap yang ditunjukan tak ubahnya seperti pemerintah yang mencemooh Mink Boy Lambodo dahulu. Kali ini kupejamkan mata bukan untuk kenikmatan. Ada Dewa Siwa muncul dalam bayang ketika kuminta ia untuk membinasakan suku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H