Sepekan yang lalu adalah hari pernikahanku. Ketua suku yang sekarang memintaku untuk menikahi putri sulungnya. Aku tak bisa menolak: suatu kehormatan jika aku menjadi ketua suku berikutnya, dan memang putri beliau cantik nian. Lihatlah hidungnya, seperti paruh burung udang. Mengupil merupakan pesona tersendiri yang ada padanya. Lima jari masuk sekaligus kesana.
Tepat. Selama empat hari pernikahan, belum sedikitpun kutanam benih pada dirinya. Meskipun ia pasrah, gua surgawinya itu tak jua ikut pasrah seperti yang punya. Selalu ada tolakan, benda itu kalah elastis dengan dengan karek. Aku tak tega untuk memaksakan, takutnya akan terjadi robek dan pendarahan.
Hingga malam kemarin, istriku mengusulkan cara yang cemerlang.
"Sayang, kenapa kau tak coba saja memasukan kaki ketigamu itu ke dalam lubang hidungku. Pakai minyak sawit saja supaya licin."
Karena terlanjur birahi, aku indahkan permintaan konyolnya itu.
Memang masuk, tetapi sensasi yang kurasakan sangat aneh, seperti menyetubuhi lubang bambu yang dipenuhi oleh rambut namun agak lunak. Entah berapa lama aku bercinta, kucurahkan saja semua bara cintaku pada saat itu. Hingga pagi menjelang dan kembali bertemu dengan malam, belum cukup rasanya genjotan yang begitu lama dan kencang membuat hormon testoteronku ini matang.
Bosan di kamar, aku pindah ke ruang tengah. Kulihat jam menunjukan pukul sembilan. Aku harus tuntaskan sekarang, batinku. Istriku mulai terengah-engah. Terlintas sebuah cara untuk menuntaskan permainan ini.
"Sayang.. coba kamu hi..rup udara dalam-dalam." Perintahku padanya sambil tegopoh-gapah. Ia indahkan permintaanku.
Sebentar lagi aku mencapai puncak. Telah kurasakan kenikmatan menjalar dari setiap inci tubuhku, dan... Akhirnya selesai. Kupejamkan mata dengan nikmatnya, terlintas Dewa Wisnu yang baru kukenal wajahnya dari lukisan yang dibawa perompak. Niat selanjutnya adalah memberikan kecupan pada istriku itu. Namun, aku kaget melihat istriku, ia tak bisa bernapas. Rongga hidungnya dilumat habis oleh cairan putih. Sekonyong-konyong ia terbatuk dan mengeluarkan cairan putih yang sama. Sial, mungkin cairan putih itu langsung menjalar ke rongga pernapasan.
***
Pagi ini aku disalib dan diarak keliling kampung, tujuan akhirnya adalah balai. Kepala suku sengaja mempertontonkan meriamku tergantung lunglay. Mungkin ia benci dengan senjata paling mengerikan yang telah membunuh anak sulungnya