Dendam
oleh : Ewin
“Kita harus memasang origami ini,” kata ibu dengan memasang origami burung bangau pada setiap pintu dan jendela.
“Kenapa harus origami?” tanyaku. Tapi ibu tidak membalas, alih-alih memendangku dengan tatapan yang seolah aku hendak memprotesnya. Sama sekali tidak. Akan akan senantiasa mengikuti apa yang diperintah olehnya. Bahkan ketika aku harus menyimpan abu jenasah ayah di bawah kolong ranjangku, alih-alih membuangnya ke laut.
Ini malam ketiga kepindahan kami di Jakarta, sekaligus malam ketujuh kebersamaanku dengan ibu tanpa adanya ayah. Ya, ayah meninggal setelah berhari-hari dihantui kecemasan. Ketakutan yang menggiringnya melakukan bunuh diri.
Bunuh diri. Aku lebih suka menyebutnya demikian. Karena begitulah yang aku lihat. Entah karena alasan apa ayah tiba-tiba menjadi brutal. Berlari kesana-kemari dengan ketakutan yang seakan begitu mengancamnya. Lantas, demi mengakhiri rasa takutnya itu, beliau mengakhiri hidupnya dengan menyayat danmenusukkan pisau kebeberapa bagian tubuhnya. Terakhir adalah pada bagian dada, dimana aku melihat dengan jelas robekkannya memperlihatkan jantung ayah berhenti berdetak.
Akan tetapi entah kenapa ibu menolak dan begitu marah saat aku menyinggung penyebab kematian ayah.
“Onryou,” desis ibu dengan penuh amarah. “Dialah penyebab kematian ayahmu.”
Ibu selalu menyebut mitos hantu pendendam itu sebagai pembunuh ayah. Aku tak mengerti maksudnya. Jika memang hantu itu ada. Kenapa aku tak melihatnya saat kejadian.
Kraaak!!
Terdengar seolah ada bunyi ranting kayu patah. Sejurus kepanikan meremang di wajah ibu. Kuamati dan terus meninggi. Sementara bunyi itu menghilang, terdengar bunyi burung kedasih. Bunyinya lemah.
“Tutup telingamu!” perintah ibu sebelum kemudian berlari menuju pintu dapur. “Pergi!!” teriak ibu sembari menyebar garam kesegala arah. “Pergi!!”
Aneh. Aku sama sekali tak melihat apa pun. Tapi ibu bagitu ketakutan. Wajahnya. Matanya. Semua meneriakan ekspresi yang sama dengan alur sebelum kematian ayah.
Tiba-tiba..
Braakk… !! entah apa yang mendorongnya ketika ibu jatuh terpental. Menimpa kursi rotan dan menjadikannya patah. Kuhampiri ibu dan menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Aku mencoba mendukung ibu berdiri kala aku merasakan sesuatu menarikku dari belakang. Menghempasku hingga aku berjuntal mengenai tembok. Kesakitan itu menyorongku tersungkur kedalam ruang gelap. Sementara aku mendengar teriakan ngilu ibu.
Darah itu masih mengalir dari luka robekan di punggung tanganku. Entah apa yang menyebabkannya demikian. Dokter sendiri kebingungan. Kata dokter, aku sudah menginap di rumah sakit selama hampir tiga hari. Tapi aku tak tahu dimana ibu berada. Polisi hanya memberiku beberapa foto yang memperlihatkan penganiayaan terhadap ibu dan aku. Menanyakan siapa wanita berpakaian putih dan berambut panjang di dalam foto itu. Aku hanya menggeleng. Karena aku sama sekali tak tahu siapa dia.
Saat kamar ini sepi. Aku mencium bau anyir. Kupikir ini wajar, karena ini rumah sakit. Tapi ketika angin mendesir pelan, aku tak bisa menyangkal akan bulu kudukku yang meremang. Saat bersamaan, kurasakan ada yang bergerak dari kolong tempat tidurku. Lantas, sosok berambut panjang mengenakan gaun putih menjuntai itu kini merayap di atas tubuhku.
“Fukushū wa shortchanged mae ni watashi wa itsumo, anata ni shitagaimasu.”
Dan semuanya menjadi gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H