Mohon tunggu...
Ewinda Adlina Hashifa
Ewinda Adlina Hashifa Mohon Tunggu... Freelancer - Let's sharing with me

Researcher, Freelance Writer, Travel Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan dalam Rumah Tangga Semakin Meningkat di Saat Pandemi Covid-19

7 Juli 2020   11:57 Diperbarui: 7 Juli 2020   12:10 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penyebaran Virus Covid-19 di Indonesia semakin massif sehingga diterapkannya system lockdown atau karantina di rumah saja yang penting dilakukan untuk meminimalisir rantai penyebaran Covid-19. 

Namun, penerapan lockdown tidak selalu membawa kebaikan terutama dalam kehidupan rumah tangga yang justru dapat meningkatkan KDRT. Bukan hanya KDRT saja yang marak di saat pandemic, tetapi juga kekerasan gender berbasis siber (KGBS) atau kekerasan berbasis online. 

Anjuran untuk tetap di rumah membuat masyarakat menghabiskan waktunya untuk bermain media sosial. Dengan demikian, potensi kekerasan gender berbasis online marak terjadi di media sosial. 

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, dalam diskusi bertajuk "Fenomena KDRT terhadap Perempuan Selama Covid-19", mengatakan bahwa untuk kasus kekerasan gender online rata-rata berbentuk teks Whatsapp, SMS, dan sosial media lainnya seperti ancaman terkait video atau foto asusila terhadap korban, jika tidak diberi pelayanan seksual secara online (VCS) maka pelaku mengancam akan menyebarkan video atau foto intim sebelum covid-19[1]. 

Di masa pandemic, tak hanya kasus kekerasan seksual yang terjadi, tetapi juga penipuan online seperti mengajak berpacaran via online lalu saat itu juga pelaku memeras uang korban dengan iming-iming akan bertemu jika sudah ada uang.

Berdasarkan data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) selama 16 Maret hingga 30 Maret 2020 terdapat 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi yang terjadi. 

Di antara kasus tersebut, 17 di antaranya adalah kasus KDRT. Menurut LBH APIK, jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum diberlakukannya imbauan pembatasan sosial. Angka tersebut merupakan jumlah kasus tertinggi yang pernah dicatat oleh LBH Apik dalam kurun waktu dua pekan[2]. 

Situasi pandemic yang membuat pola kehidupan berubah cenderung mengakibatkan stress yang kemudian menghasilkan perilaku kekerasan termasuk KDRT. Banyak instansi yang menerapkan system kerja work from home atau bekerja di rumah sehingga otomatis pekerja lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sehingga intensitas bertemu pasangan lebih banyak yang memicu terjadinya KDRT. 

Dalam masa lockdown, mau tidak mau pasangan harus bertemu setiap waktu di rumah, namun mereka terkadang tidak mampu dalam mengontrol emosi karena stress yang mengakibatkan perilaku KDRT. KDRT menjadi tren yang terus meningkat dalam situasi pandemic covid yang tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. 

Pada dasarnya, pemberlakukan lockdown atau karantina di rumah semasa pandemic menjadi triger bagi perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan. Adanya ketimpangan relasi wewenang antara laki-laki dan perempuan di rumah menjadi penyebab utama terjadi KDRT. 

Jika KDRT terjadi, perempuan yang berada di rumah menjadi terperangkap bersama pelaku KDRT yang akan berdampak pada gangguan psikologis korban karena tidak dapat keluar rumah dan kesulitan mengakses tempat perlindungan. 

Menurut Psikolog P2TP2A DKI Jakarta, Hapsari Nelma, mengatakan bahwa ia dan tim mengalami hambatan dalam menentukan jumlah kasus kekerasan berbasis gender karena terdapat perbedaan antara yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan. Jumlah yang dilaporkan cenderung sedikit daripada yang tidak dilaporkan atau yang terjadi di lapangan.

Menurut Dina Mariana, Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE), laki-laki cenderung lebih merasa tertekan dengan konstruksi sosial "laki-laki pencari nafkah" di saat pandemic ini dimana kondisi pandemi telah merubah konstruksi tersebut karena banyak laki-laki terdampak pandemic dengan kehilangan pekerjaan. 

Di dalam keluarga, stress dan tertekan yang sulit untuk dikontrol menjadikan suami rentan melakukan kekerasan pada istri atau anak perempuan yang ada di rumah sebagai pelampiasan emosi.

Untuk menangani kasus KDRT yang semakin meningkat di saat pandemic, pemerintah perlu memiliki panduan kebijakan yang mengintegrasikan situasi pandemic dengan perspektif gender. Perlu adanya layanan dan perlindungan yang sesuai dengan protokol keamanan covid dan mudah dijangkau serta memperhatikan kebutuhan spesifik kelompok rentan termasuk perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun