Mohon tunggu...
Ewinda Adlina Hashifa
Ewinda Adlina Hashifa Mohon Tunggu... Freelancer - Let's sharing with me

Researcher, Freelance Writer, Travel Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Peran Perempuan Pekerja Migran

14 Januari 2020   14:44 Diperbarui: 14 Januari 2020   22:46 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jumlah pekerja migran perempuan atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia di luar negeri semakin banyak. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor pendidikan yang rendah sekaligus dari faktor ekonomi dimana perempuan diharuskan menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah sekaligus untuk memperbaiki kehidupan mereka agar lebih sejahtera. 

Walaupun saat ini perempuan sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi wanita karir dengan profesi bergaji tinggi serta telah terwujudnya kesetaraan pendidikan, tetap saja masih banyak pula perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah seperti di masyarakat pedesaan. 

Mereka dituntut untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga tetapi sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup jika tingkat pendidikan mereka rendah. Maka dari itu, mereka memilih menjadi TKW ke negara lain untuk bisa mendapatkan upah yang tinggi untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. 

Menjadi pekerja migran, dijadikan pilihan bekerja bagi masyarakat miskin sehingga bekerja di luar negeri melanggengkan budaya kemiskinan dengan menumbuhkan konstruksi dimana bekerja di luar negeri menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat miskin dan berpendidikan rendah.

Menurut Data Migrant Care, pekerja migran didominasi oleh perempuan daripada laki-laki yaitu sebesar 70 persen. Sebagian besar pekerja migran perempuan atau TKW tersebut bekerja di sektor domestik seperti menjadi asisten rumah tangga, babysitter, perawat orang tua, dan pekerjaan domestik lainnya yang sebenarnya tidak layak dilakukan oleh perempuan. 

Padahal pekerja migran perempuan lebih rentan terhadap kasus kekerasan fisik dan verbal, penipuan, pelecehan dan kekerasan seksual bahkan menjadi korban dari human trafficking. 

Banyak pula yang perempuan yang menjadi tenaga kerja ilegal dengan memalsukan identitas melalui perantara atau calo, saat rekruitmenpun juga perempuan diiming-imingi pekerjaan yang menyenangkan dan dengan upah yang menggiurkan padahal hal tersebut merupakan langkah awal dari adanya indikasi kasus perdagangan manusia. 

Biasanya setelah mereka sampai di negara tujuan, semuanya jauh dari ekspetasi. Bahkan mereka diperkejakan secara tidak layak seperti jam kerja yang terlalu tinggi tetapi tidak diberikan upah yang cukup. 

Mereka juga mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikan mereka di negara tersebut seperti kekerasan fisik bahkan kekerasan seksual, pemerasan tenaga, dan bahkan paspor mereka ditahan agar tidak dapat pulang ke negara asal. 

Mereka bekerja dengan tidak adanya hak kemanusiaan bahkan hak perempuan seperti cuti melahirkan atau cuti haid. Bila pekerja migran terindikasi menjadi korban perdagangan manusia, akan sangat sulit bagi korban untuk pulang ke negara asal dan sulit mendapatkan proteksi hukum.

Menurut Data Migrant Care, menunjukkan bahwa 85 persen pekerja migran perempuan sudah menikah dan memiliki anak. Mereka harus meninggalkan anak-anak mereka untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Dalam hal ini, TKW yang sudah menikah memiliki peran sebagai seorang istri, ibu, dan juga sebagai pencari nafkah keluarga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun