Mohon tunggu...
ewin suherman
ewin suherman Mohon Tunggu... wiraswasta -

an idiot virgin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Berhidung Bengkok

29 September 2013   15:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah apakah ini sebuah kebetulan yang sekali waktu ada untuk mendukung mengelak istilah lama bahwa dunia tidak lah seluas daun kelor? Pagi ini saya terpaksa naik angkot karena di tengah jalan ban mobil saya pecah. Angkot jurusan kabupaten lingkar kota yang saya naiki ini tidak terlalu penuh. Hanya ada lima ibu-ibu seusia empat puluh tahunan akhir dan seorang bocah perempuan usia sekitar empat tahun dan mengenakan seragam sekolah Taman Kanak-kanak beratribut yang saya tahu sekolah tersebut berada di jalan Ahmad Yani, Slawi. Bocah perempuan yang tampak sedang merajuk kepada Emaknya, terus menggelayut pada pundaknya, perempuan nampak paling muda di antara ibu-ibu yang lain di sana.

“Si Bastian anaknya Pak Sastro itu, gay!” cetus seorang ibu berpenampilan glamor. Entah apa makna lirikannya terhadap saya yang persis duduk berhadapan dengannya. “mana ada dirinya bukan gay kalau koleksi foto dalam album handphone-nya semuanya cowok-cowok tampan dan berbadan aduhai.”

Lha, dari mana jeng bisa tahu kalau anaknya Pak Sastro itu penyuka terong juga?” delik seorang yang lainnya menanggapi antusias, perempuan bertubuh gempal dan berdandan paling menor dan sedikit norak dengan apa yang dikenakannya.

Gerak-gerik perempuan bertubuh gempal ini sedikit genit. Dan sekali lagi membuat saya heran dan bertanya, apa pula makna lirikkanya saat dirinya menoleh ke arah saya, si Ibu gempal antusias ini mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Ibu dengan penampilan glamor.

“Jeng Asih ini gimana sih? Lha wong Si Tony adik saya paling bungsu itu teman akrabnya semenjak mereka kecil. Jadi mana ada juga dia tidak tahu kalau anak kepala KUA itu …”

Entah ada perasaan menyudut menuding nyinyir dari mereka sehingga saya memilih untuk mengaburkan pendengaran saya dari kalimat lanjutan si ibu glamor. Meski tidak dapat saya mengelak dari debur tawa menimpali daripada para ibu-ibu yang lain menyimak dan lantas (seolah) mereka menyingkap rok mereka seakan bertemu dengan setumpuk sampah becek. Takut dan jijik kalau-kalau sampah itu menempel pada ujung rok mereka melambai.

Sepintas saya mengurai. Dua nama yakni Bastian dan Tony. Lalu Bastian yang disebut-sebut sebagai anak dari kepala Kantor Urusan Agama. Jika benar yang dimaksud mereka dengan Bastian adalah anak dari pejabat itu adalah Bastian Wibisono, serta Tony adalah Tony Subrata, maka saya mengenal berdua mereka. Meski hanya sekedar tahu mengenai kisah mereka yang seakan menjadi legenda menyihir cerita tahunan, acapkali diadakan pertemuan rutin alumni SMA 1.

Saya pernah dua tahun satu kelas dengan Tony, tiga tahun dengan Bastian, dan di kelas tiga kami sama-sama masuk kelas IPS. Jaman SMA Bastian yang dikenal sebagai “anak pejabat”. Dia dikenal sebagaim si diam karena sama sekali hampir tak pernah terdengar dirinya membuat tingkah. Prestasinya juga adem ayem. Cuma sekali pernah mengejutkan sekolah saat tiba-tiba, hari Senin pagi seusai upacara bendera, Kepala Sekolah mengumumkan bahwa salah satu anak didiknya telah berhasil mencetak prestasi, menjuarai kompetisi papan luncur tingkat SMA yang diadakan di Bandung, Jawa Barat, dan nama Bastian disebut sebagai sang pemenangnya.

Cuma itu prestasinya yang sempat membuat geger anak-anak muda se kabupaten bahkan kota kecil di sudut jalur Pantura ini. Memunculkan euphoria terhadap olah raga papan luncur yang sebelumnya hanya ada sebagai dolanan wong sugih* saja. Paska pengumuman kemenangannya, ia masuk kran lokal dan papan luncur seolah menjadi wabah baru di sini. Di setiap sudut sepanjang jalan, gang-gang sempit pertokoan, dan taman kotadi depan rumah dinas bupati, menjadi dimonopoli para komunitas yang sebelum nama Bastian mencuat, hanyalah sebuah komunitas minor dengan biaya mahal.

Satu gebrakan yang berhasil membungkam sang bad boy Tony, karibnya yang hanya karena kecerdasannya lah pihak yayasan rela memasang diri mempertahankannya tetap berada di bawah kuasa didikannya. Maka tidak heran jika kemudian keduanya melambung tinggi a la duet penyanyi kelas dunia dalam setiap perkongsian mereka. Mereka muncul bak ibarat dewa yang senantiasa layak untuk dipuja.

Akan tetapi, hal minus rupanya tetap menyaru di dalam setiap apa pun sebuah perkara. Seakan ia umbul-umbul terpasang bertuliskan no one musnt be perfect. Bahwa tidak ada satu hal pun dapat sempurna di atas muka bumi-Nya. Membuat ukiran kata itu menjadi tak terbantah adalah karena Bastian dan Tony itu sendiri.

Keakraban keduanya yang seolah-olah memperlihatkan diri menolak orang lain masuk ke dalamnya, pada akhirnya menghasilkan pandangan dan pemikiran yang mengerucut. Pandangan dan pemikiran cupat. Berkembang menjadi hal-hal minor pula, bahkan tidak jarang mengundang derit kesangsian pada integritas masing-masing mereka lalu mengancam untuk menyepelkannya.

Seakan dilempar angin, masa lalu telah mencuri saya dan dikembalikan lagi pada masa sekarang, yakni ketika dalam satu garis terdengar jelas di telinga saya rengekan bocah perempuan itu meminta dibelikan gantungan kunci berbentuk boneka angry bird dan suhu udara seakan menaik tinggi hanya menjerang tubuh saya. Ibu-ibu itu masih cuap-cuap dan tertawa-tawa. Rupanya angkot sedang berhenti di perempatan lampu merah perbatasan kabupaten dan kota.

Saya yang menyengaja duduk di dekat pintu, ternyata hanya berjarak tidak lebih dari tiga puluh senti saja dari tubuh beraroma keringat (sedikit menyengat sesak) pedagang asongan, mencondongkan tubuhnya menawarkan dagangannya berupa gantungan kunci.

Beruntung Emak si bocah cepat membayar apa yang diminta beli oleh anaknya, sehingga lekas membuat saya menyudahi kernyit menahan aroma sesak itu. Saat itu pula, saya menangkap dua ibu-ibu yang lain, duduk di samping kanan si ibu berdandan glamor, mengerling menatap saya dengan pandangan aneh. Yang satu cepat melengos ketahuan senang menatap saya. Sedang yang satunya lagi, ibu-ibu memakai pakaian warna merah muda dengan kerudung warna kontras berseberangan, yakni cokelat muda, seperti dirinya hendak tersenyum ragu kepada saya. Saya pun daripada menuai canggung, memilih untuk menoleh lagi keluar jendela dan memeriksa lampu menyala merah, yang pada titik angkanya membuat saya merutuk kecil. Saat melihatnya angka itu menunjukkan sedang berdetik mundur dengan angka 59 di sana. Ah..

Saya tidak mengeluh, dan edan jika memiliki harapan yang melampaui batas, yakni berharap angkutan umum dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan untuk jaman sekarang ini. Yang saya keluhkan adalah kenapa tiba-tiba mata-mata para ibu tersebut sekarang menyudut memandang ke arah saya? Sungguh membuat saya merasa seperti pelakon dalam cerita mereka jika dengan pandangan mereka yang demikian kepada saya. Apalagi saat sang ibu berdandan glamor itu kembali angkat bicara, dengan suaranya terdengar makin antusias seperti pembela fanatik untuk satu lakon tertentu.

“Nggak mungkin adik saya begitu! Si Tony itu calon istrinya saja calon bidan. Dia sendiri calon Hakim, jadi mana mungkin dia memiliki sifat yang seperti Bastian? Tidak mungkin!” tukas si ibu glamor yang entah apa alasannya? Lagi-lagi melirik aneh ke arah saya.

Tapi kali ini, demi mendengar penjelasan pembelaan tentang gelar Tony, saya abaikan lirikan aneh dan menuduh si ibu glamor. Karena pada pendnegaran saya yang lebih menyita perhatian saat ini adalah detik jarum jam. Memaksa saya melirik arloji pada pergelangan tangan yang lantas membuat saya berkeinginan merebut stir dari si sopir angkot, kemudian melajukan  angkot sekencang saya sanggup menuju kompleks rukan di daerah jalur Pantura. Di salah satu deretan rukan itulah kantor tempat saya bekerja. Saya adalah rekan seorang pengacara sekaligus PPAT, dan hari ini, tepat pukul sepuluh pagi ada studi kasus mengenai sengketa tanah antara pihak terwaris dan tanah yang hendak dijualnya itu. Tanah yang berletak di jalan Halmahera dekat dengan kompleks sebuah kampus universitas swasta ternama di kota ini yang sohor berkat logat medoknya. Sedang pada saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh menit tepat. Sungguh untuk tekanan waktu, dua puluh menit akan menjadi waktu yang sangat singkat.

Maka sadar diri bahwa saya adalah orang yang mudah panik, sedangkan dalam kondisi seperti itu, maka segala keburukan diri saya akan serta merta mencuat, menandak-nandak di atas kepala saya, untuk itu saya pasangkan diri saya untuk menyimak ibu-ibu itu masih terus menggunjing laki-laki bernama Bastian dan si ibu glamor keukeuh membelas adiknya bernama Tony, “dia tidak seperti itu!”

Lalu muncul lagi ingatan yang tadi di masa sekitar tujuh tahun yang lalu, setiap hari saya bertemu dengan keduanya di sekolah. Kali ini waktu tidak mencuri saya membawa ke masa lalu. Sebab desir angin terasa lembut mendekap tubuh saya saat lampu pada akhirnya menyala hijau dan angkot kembali melaju.

Gusar di hati mengintip-intip, berandai-andai bagaimana jika angkot tidak sampai e tempat tujuan dalam waktu dua puluh menit, bahkan semakin berkurang? Namun saya berkeras diri dan menenggelamkannya di antara dialog para ibu-ibu sengaja saya mendengarnya, yang kini beralur dengan bayangan saya mengingat jaman mengenakan seragam putih abu-abu.

“Padahal Bastian itu tampan lho,” katanya lagi. “Dia itu arsitek. Dulu kuliahnya sama-sama di universitas negeri di Yogya dengan Tony. Menurut Tony banyak sekali teman-teman perempuannya yang naksir dan memuji ketampanannya. Bentuk tubuhnya ideal. Dia senang berolah raga sehingga tubuhnya kencang dan berisi. Dan hidungnya, hidungnya bengkok seperti orang Arab. Padahal dia tidak ada turunan Arab. Keluarganya asli Jawa.”

Persis kalau begitu, penggambarannya mengenai Bastian persis dengan Bastian yang selama tiga tahun selalu satu kelas di SMA dengan saya. Bahkan di kelas tiga, dia yang duduk di deretan bangku paling depan dan tak menyukai pelajaran Tata Negara, selalu meminta untuk tukaran tempat duduk dengan teman sebangku saya, kebetulan saya duduk di deretan bangku paling ujung belakang, dan ia bertukar tempat duduk agar bisa tidur di sana.

“Tapi jeng, selain cerita dari adik jeng, apa jeng ini tahu sama banyak dengan adik jeng menyoal si Bastian itu?” akhirnya, tetapi saya juga tidak dapat memastikan apakah ini kali pertama ada orang yang menanyakan hal tersebut? Mengenai kepastian dari cerita si ibu glamor memastikan ceritanya itu tidak menjual katanya. Kali ini Emak si bocah perempuan yang bertanya.

“Oh, tentu,” gelegak si ibu glamor dengan mata terbeliak. “Akan terlihat dengan jelas bagaimana cirri-ciri orang yang punya satu sifat tertentu..”

“Apa itu?”

Melirik lagi ke arah saya, si ibu glamor bernama Maryam itu, sambil tersenyum samar dan tegas sekali bahwa senyumnya itu tidak lah dimaksudkan tersenyum kepada saya beramah-tamah. Sebab kalau ya, si ibu galmor tentu sudah melakukannya sejak tadi posisi duduk kami tak pernah berubah, terus berhadap-hadapan.

“Saya baca dari internet, jika laki-laki senang dandanan rapih dan pupil matanya itu membesar saat berhadap-hadapan dengan lelaki yang lainnya, maka..”

Ah, menohok lagi pada pendengaran saya, menuding menyama ratakan setiap cirri-ciri tertentu dari satu person kepada individu yang lainnya, digariskan pada dugaan berperilaku abnormally. Saya tida sedang membela Bastian dalam kediaman saya di sana. Karena toh jika berpikiran cupat, dan tentu saya pernah berpikiran seperti itu terhadapanya. Ambil contoh tiap ada acara alumni, lantas apa yang tidak diambil cerita untuk mengenang dan dijadikan guyon? Guyon yang tadinya hanya sekedar namun menyemat dalam buai benak menghasilkan satu sudut pandang paling menyudut. Dukungan penuh terhadap sudut pandang adalah keadaan “hubungan” keduanya dari dulu masih tetap mengerucut.

Menoleh lagi kepada arloji. Pukul sepuluh hanya kurang tidak lebih dari lima menit. Sudah tentu saya akan telat, sementara ini angkot masih akan memutar mengikuti jalur lingkar trayeknya untuk bisa melintasi jalur pantura di mana terdapat kompleks rukan tempat saya bekerja. Saya meneliti ke arah luar menembus jendela kaca, mencari taksi barangkali ada yang melintas dengan harapan sang sopir akan bersedia mengejar dan memanggilnya untuk saya.

Obrolan di sana masih berpusar pada cirri fisik laki-laki berorientasi seksual, yang menurut si ibu glamor, bisa dicermati dengan mudah. Sesekali terdengar suara mencela, berandai-andai dan mencari kemungkinan Tony akan terseret arus yang direnangi oleh Bastian itu. Dan si ibu glamor mengelaknya lagi, lalu tawa-tawa saling silang dan meninggi. Sementara perhatian saya, terus mencari kemungkinan ada taksi yang melintas di luar sana.

Lagi-lagi dalam waktu saya menelusuri keadaan di luar, tak hanya sekali saya menangkap ibu-ibu tengah mencuri-curi pandang ke arah saya. Senada lagi dnegan kalimat-kalimat menyebut dandanan rapih, tampilan simpati dan pengkhususan pada ciri fisik tubuh yang atletis, proporsional dengan bentuk hidung mancung yang beragam. Mancung tinggi, mancung bengkok. Lantas, ada tawa lagi, mengulang kata hidung bengkok.

Akhirnya angkot berhenti usai sang sopir melihat dan mengejar sebuah taksi dengan jendela kaca transparan  dan kosong tak berpenumpang, sang sopir menghentikanya untuk saya. Saya pun segera berpindah kendaraan. Perasaan lega pun lekas memenuhi diri saya kala sopir taksi menyanggupi untuk tiba di tempat saya bekerja, berkisar lima sampai delapan blok dari tempat semula dengan jarak tempuh lima menit bahkan kurang. Kelegaan yang lain muncul karena telinga saya tidak lagi sesak oleh suara-suara menggunjing orang yang pernah saya kenal.

Tetapi baru sekian detik saya merasakan kelegaan itu, muncul keterusikan berangkat dari naas kecil menimpa diri saya. Hidung saya terbentur jendela kaca, saat berusaha mendekatkan wajah saya untuk mengucapkan terima kasih lagi kepada sopir angkot. Tidak menyebabkan rasa sakit yang berlebih memang. Namun ia menimbulkan keterusikan lagi di telinga saya dan menurun ke dada, membuat rasa yang sama sekali tak nyaman di sana. Rupanya pen jabaran ciri fisik mengenai pria apa dari si ibu glamor mengendap dalam ingatan dengar saya. Penampilan rapih dan dan simpati. Hidung mancung. Hidung bengkok.

Denyut pada hidung saya terasa seperti terbakar saat saya meraba. Saya seorang partner pengacara. Gelar saya pun Sarjana Hukum. Memakai pakaian rapih untuk keseharian saya bekerja. Dan hidung saya bengkok. Sama sekali tidak ada keturunan Arab. Saya asli turunan Jawa.

***

Catatan :

·Mainan orang kaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun