Mohon tunggu...
ewin suherman
ewin suherman Mohon Tunggu... wiraswasta -

an idiot virgin

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FF] Mika dan Pohon Harapan

19 Oktober 2013   16:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:19 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[FF] MIKA DAN POHON HARAPAN

NO. 85 – EWIN SUHERMAN

MY name is Mika. I was eleven years old. Sebelum hari ini, aku tidak terlalu suka membaca. Aku lebih senang bersepeda, menangkap ikan-ikan kecil di sungai, berenang, atau berburu belalang dan capung di sawah.

Kata papa, aku jarang sekali menangis. Mama juga bilang kalau aku lebih banyak tertawa. Tak pernah ada hal yang membuatku bersedih. Saat jatuh dari sepeda, saat ikan-ikan kecil hasil tangkapanku mati, atau bertengkar dengan saudaraku berebut ladang buruan berburu belalang dan capung, saat semua itu terjadi, aku tak pernah takut untuk mengulanginya lagi. Aku akan bersepeda lagi, menangkap ikan lagi, atau pergi ke tempat yang lain yang hanya ada aku sendirian mengejar belalang dan capung.

Aku jarang membaca buku cerita. Dongeng tentang Sangkuriang, Panji Laras, atau cerita petualangan Harry Potter di dunia sihir hanya aku dengar dari Jeroen, kakakku yang berusia lebih tua satu tahun dariku. Jeroen suka sekali membaca, ia ingin menjadi pengarang cerita hebat seperti pengarang cerita Harry Potter.

Sejak kedua kakiku patah, Jeroen semakin sering menceritakan kisah-kisah yang seru. Kisah ibu dan saudara tiri jahat dalam Bawang Merah bawang Putih, kisah Aladin dan lampu wasiat, dan masih banyak cerita yang lainnya.

Awalnya Jeroen akan menemaniku sampai larut untuk bercerita, sampai terkadang mama atau papa masuk ke kamarku dan memaksa kami untuk tidur. Sebelum bercerita, dia akan membaca buku terlebih dahulu. Tapi itu sebelum liburan berakhir, ketika sekolah mulai lagi di awal September, waktu yang dimiliki Jeroen untuk bercerita semakin berkurang. Jeroen pun tidak akan bercerita selama lima hari karena ia akan ikut berkemah. Untuk itu, ia meninggalkan banyak sekali buku-buku cerita dan meminta mama membacakannya untukku.

Dari beberapa buku yang mama bacakan, aku sangat menyukai cerita Peter Pan.

Suatu malam, aku tidak langsung tidur setelah mama bercerita. Aku membayangkan jika aku berada di Neverland. Menjadi kembaran Peter dan bersama-sama melawan kejahatan kapten Hook. Sangat menyenangkan, mengetahui aku bisa terbang. Dan yang paling baik, Peter mengingatkanku bahwa belalang dan capung tidak untuk ditangkap dan dikurung. Mereka harus terbang dan mencari makan. Mereka memiliki hidup yang bebas, seperti itu juga ikan-ikan kecil di sungai.

Untuk itu Peter selalu mengajakku terbang. Tidak hanya kami berdua saja, tetapi juga bersama teman-temannya yang lain yang disebut The Lost Boys, Wendi, dan juga si peri Tinkerbell.

“Kau lelah?” tanya Peter seraya terbang mendekatiku.

“Lelah? Yang benar saja! Aku sudah lama sekali terbaring di tempat tidurku, aku hanya merasa senang dengan cerita-cerita dari kakakku!” seruku menjawab antusias. Peter tersenyum dan mengangkat alisnya yang sebelah.

“Kalau begitu, maukah kah terbang lebih jauh lagi?”

“Ke mana?”

“Tink akan menuntun kita,” beritahunya dan ia menoleh kepada teman-temannya yang mengangguk sama antusiasnya. Tinkerbell yang selalu terbang di bahu Peter, serbuk terbangnya semakin bersinar. Kata Peter, itu artinya Tinker setuju dan senang dengan tugasnya menuntun kami terbang.

“Baiklah.” Kataku senang.

Tinkerbell melesat, dan kami semua mengikutinya di belakang. Kadang kami terbang tinggi di atas awan-awan, kadang menukik rendah di atas air danau yang berkilau jernih tertimpa cahaya Matahari. Capung-capung, kupu-kupu, kumbang dan binatang bersayap dan terbang lainnya mengikuti kami.

“Kau senang?” tanya Peter lagi. Ia berteriak.

“Belum pernah sesenang ini!” Aku menjawab dengan suara lebih kencang, berusaha mengatasi suara angin yang menderu keras.

Mendekati sebuah bukit, Peter bersiul dan seketika Tinkerbell terbang rendah, kami semua pun mendarat di sebuah lembah di bawah bukit yang berhawa sejuk. Di lembah itu banyak ditumbuhi pohon-pohon yang aneh. Batangnya tinggi, bengkok dan berbonggol. Daunnya kecil-kecil dan lebat. Lembah itu dibelah oleh sungai kecil dengan riak air yang begitu jernih. Sangat jernih sehingga dari jarak jauh saja bisa dilihat ikan-ikan yang berkoloni di dalamnya.

Peter mengajak kami duduk di akar tumbuhan tinggi berbonggol itu yang menyembul di atas tanah hingga membentuk kursi yang nyaman. Tumbuhan itu mengeluarkan bau wangi yang segar, seperti ketika kau mencium bau apel yang baru dipetik.

“Pohon apa ini?” aku bertanya. Peter tersenyum tapi kemudian yang menjawab Wendi setelah dibisiki Tinkerbell.

“Pohon Harapan.” Jawab Wendi.

“Pohon Harapan?” aku bertanya mengulang. Semua orang mengangguk.

“Makanlah buahnya dan kau akan memperoleh seribu harapan!” kata Peter.

Mendengar penjelasan dari Peter aku langsung mendongak. Tak ada yang kulihat satu biji pun buahnya. Aku pun terbang. Sekitar beberapa menit terbang mengitari pohon yang setinggi rumah tiga lantai ini, keluar masuk rimbun daunnya. Tapi, aku sama sekali tak mendapatkan satu pun buahnya!

“Aku tak melihat ada buahnya, apakah harus menunggu musim?”

Tidak ada seorang pun menjawab, malah mereka tertawa. Tinkerbell terbang mengitari kepala Peter, seolah ia ikut tertawa.

“Pohon Harapan tidak berbuah menurut musim.” Kata Wendi pelan.

“Pohon Harapan juga tidak akan berbuah kapan pun!” Peter memberi tambahan. Lalu ia berdiri, diikuti oleh bocah The Lost Boy dan Wendi. Mereka semua terbang mengitariku.

“Maksudnya?” aku kebingungan. Aku belum pernah mendengar pohon yang aneh seperti ini.

“Kau harus memiliki harapan untuk bisa mendapatkan buahnya.” Kata Peter.

“Harapan yang tulus dan sangat kuat.” Wendi ikut berkata.

“Aku memiliki harapan.” Jawabku dan merasa yakin, aku masih memiliki harapan aku bisa berjalan.

“Apa harapanmu, Mika?” Peter bertanya.

“Aku.. aku.. bisa kembali berjalan.”

Peter tertawa lagi. The Lost Boy dan Wendi ikut tertawa.

“Hanya itu harapannya?”

Aku mengangguk. Menatap Peter. Peter tersenyum, kali ini The Lost Boy dan Wendi tidak ikut tersenyum. Hanya Tinkerbell yang masih terbang di sekitar kepala Peter dan serbuk terbangnya bersinar lebih terang dari sebelumnya. Sebentar Peter memejamkan matanya. Lalu terdengar kemerosak daun seperti ketika orang memetik buah mangga. Aku tak melihat bagaimana buah yang mirip dengan apel merah itu jatuh dan Peter memungutnya dari atas tanah yang berrumput hijau segar. Tahu-tahu buah yang berkilau kena cahaya itu sudah ada di tangannya dan ia menyodorkannya kepadaku.

“Makanlah.” Katanya.

“Buatku?”

Peter mengangguk. Aku mengambil buah itu, tapi tiba-tiba sekali Wendi menyambar lengan Peter hingga buah itu terjatuh.

“Tidak boleh.” Kata Wendi dengan mata seperti orang ketakutan. Saat ia bicara, buah itu sudah kembali di tangan Peter.

“Kenapa tidak boleh?”

Semua orang memandang Peter. Peter tersenyum lagi, ia berkata, “Dia mau sembuh.”

“Tapi kalau dia makan buah ini,” Wendi memandang buah di tangan Peter.

“Dia yang mau,” kata Peter lebih pelan dan suaranya sangat jelas.

Wendi menggeleng gusar, lalu dia menatapku. “dengar, kalau kau memakan buah ini, kau akan sembuh, tapi kau juga tidak akan kembali.”

Peter masih tersenyum. “Kau akan menjadi bagian dari kami. Kau akan selamanya tinggal di Neverland.”

“Kau tidak akan bertemu dengan Jeroen, Mika! Kau akan berpisah dengan mama dan papamu selamanya.”

“Tapi bukankah ini buah seribu harapan? Buah yang diambil dari pohon harapan?”

“Harapan yang hanya terkabul di dunia mimpi. Bukan di dunia nyata.” Kata Wendi. Matanya berkaca-kaca.

“Ya, dan Mika akan tetap memakannya.” Peter maju selangkah dan masih menyodorkan buah itu kepadaku.

Buah itu tampak sangat lezat, harum dan segar. Aku akan sembuh jika memakannya. Aku akan bisa berjalan lagi. Dan mungkin juga bisa mencari orang yang dulu menabrakku dan pergi begitu saja tidak bertanggung jawab. Aku akan sembuh. Aku akan bisa berjalan lagi dengan makan buah itu. Buah harapan..

“Jangan Mika..” Wendi kembali berbicara, suaranya terdengar terisak. Isak tangisnya semakin jelas terdengar ketika aku mengasurkan buah ke mulutku. “jangan Mika..” dia bicara lagi. Aku berhenti. Suaranya yang kedua itu tidak terdengar seperti suara Wendi. Aku mengangkat wajahku dan menatap Wendi. Aku sangat kaget ketika wajah Wendi berubah-ubah menjadi wajah mama, papa, dan Jeroen! Mereka semua menangis dan memintaku tidak memakannya. Buah itu pun jatuh. Tanpa memungut, buah itu sudah ada di tangan Peter yang wajahnya marah dan selangkah lagi mendekatiku.

“Kau harus memakannya!” katanya memaksa.

Keinginan untuk sembuh dan seruan Peter memaksaku memakannya. Tapi Wendi yang menangis, menahanku. Saat Peter hendak memaksaku membuka mulut, Wendi mendekat. Ia berkata, “mintalah harapanmu yang paling tulus.” Menangis, tapi Wendi juga tersenyum saat ia berbicara kepadaku. Aku mengangguk. Aku tahu, harapanku yang paling tulus adalah kesembuhan pada kedua kakiku. Tapi, aku juga tidak mau kehilangan mama, papa dan juga Jeroen. Aku menyayangi mereka.

Wendi memberitahuku untuk menutup mata saat mengucapkan harapan dan keinginanku. Aku pun menutup mata dan mengucapkannya. Sedetik, dua detik, dan aku merasakan angin berhembus di mukaku. Perlahan-lahan aku membuka mata. Pertama-tama yang kulihat adalah langit-langit kamarku yang dihias dengan lukisan langit malam bertabur bintang.

“Kau sudah bangun?” kata Jeroen antusias. “dengar, aku baru saja membeli banyak sekali buku di pasar loak, sepulang berkemah tadi, sangat menyenangkan karena toko buku itu hampir tutup. Aku perlu membayar lebih. Dan kau juga harus tahu, kata papa, di Indonesia, kita akan mendapatkan toko buku bekas hampir buka hingga dua puluh empat jam!”

Aku memandang Jeroen dan tersenyum. Mukanya yang putih bersih mulai ditumbuhi bintik-bintik kecil kemerahan. Kata mama, itu petanda jika Jeroen bukan anak-anak lagi.

“Menurutmu, aku akan sembuh?” kataku pelan.

Jeroen menatapku dan ia tersenyum. “Tentu saja kau akan sembuh. Kau lebih kuat dari kita semua. Kau, selalu memiliki harapan yang selalu terkabul jika kau memercayainya.”

Aku tersenyum dan memeluknya. Kata-kata Jeroen lebih bisa aku pahami daripada teriakan Peter yang masih bisa kudengar dari kejauhan. Dia marah karena aku punya Pohon Harapan sendiri sekarang. Pohon Harapanku adalah keluargaku sendiri, dan bukan mimpi. Pohon Harapanku mulai tumbuh seiring dengan kegemaranku membaca. Bersamaan dengan keyakinan jika aku akan sembuh..

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana CommunityInilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun