Saya tertawa, "Jadi, kita harus jadi ayam, Ma?"
Mama mengangguk dengan gaya yang serius tapi tetap lucu, "Kalau itu artinya kita terus konsisten dalam kebaikan, kenapa nggak?"
Malam Tahun Baru: Merayakan dengan Hati, Bukan Euforia
Saat kembang api mulai reda dan suara musik pelan-pelan menghilang, obrolan kami malah makin dalam. Kami bicara tentang bagaimana setiap orang punya cara sendiri untuk merayakan hidup. Ada yang dengan pesta, ada yang dengan refleksi.
"Mama nggak anti perayaan," katanya, "Tapi mama lebih suka merayakan dalam sunyi. Kadang, keheningan itu justru memberi ruang buat kita benar-benar bersyukur dan merenung. Apa kita sudah cukup baik? Apa kita sudah memberi manfaat buat orang lain?"
Malam itu, saya merasa seperti sedang kuliah filsafat gratis. Mama menjelaskan bagaimana kehidupan itu bukan tentang momen besar, tapi tentang bagaimana kita mengisi setiap hari dengan makna. Bahwa setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah perayaan itu sendiri.
Menutup Malam dengan Kebijaksanaan
Sebelum tidur, saya sempat bertanya, "Jadi, Ma, apa harapan mama untuk tahun baru ini?"
Mama tersenyum, "Harapan mama sederhana. Semoga kita tetap jadi orang baik, yang nggak cuma hidup untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Kalau kita bisa, semoga kita seperti ayam yang selalu menyambut hari baru dengan semangat."
Malam itu, saya tidur dengan perasaan hangat. Bukan karena obrolan kami soal ayam, tapi karena saya sadar, momen kecil seperti ini adalah kekayaan yang tak ternilai. Euforia boleh datang dan pergi, tapi kebijaksanaan dan cinta dari seorang mama akan selalu abadi.
Penutup: Inspirasi untuk Tahun Baru