Mohon tunggu...
Ewia Putri
Ewia Putri Mohon Tunggu... Penulis - seorang aktivis kemanusiaan konsen terahadap persoalan ekonomi, perempuan dan kemanusiaan

saya merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, saya tamatan s2 magister ilmu ekonomi di universitas jambi, sekarang sedang senang2 menjadi pengamat dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mencoba Tak Berisik

30 Agustus 2024   20:48 Diperbarui: 30 Agustus 2024   20:59 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencoba Tak Berisik !

Di tengah kehidupan yang semakin dipenuhi oleh kebisingan, baik dari luar maupun dalam diri kita sendiri, kita sering kali lupa akan keheningan yang seharusnya menjadi sahabat sejati. Dengan mulut yang satu dan suara yang bisa begitu lantang, manusia menciptakan kebisingan yang mengaburkan makna dari setiap kata yang diucapkan. 

Lidah, yang tersembunyi di balik gigi, seakan tidak pernah lelah untuk bergerak, mengeluarkan rangkaian kata yang tak terhitung jumlahnya. Namun, berapa banyak dari kata-kata itu yang benar-benar bermakna? Berapa banyak yang benar-benar layak untuk didengar?

Manusia diberkahi dengan akal budi---kemampuan untuk berpikir, merenung, dan berbicara. Namun, sering kali, kemampuan ini menjadi pedang bermata dua. Ketika kata-kata tidak diimbangi dengan kesadaran dan kebijaksanaan, ia dapat melukai, merusak, bahkan menghancurkan. 

Dalam ajaran Laozi, filsuf besar Tiongkok, terdapat peringatan bahwa "Diam adalah sumber kekuatan besar." Laozi mengingatkan kita bahwa dalam keheningan, ada kekuatan yang tidak bisa dijangkau oleh kebisingan. Kata-kata yang dikeluarkan tanpa refleksi sering kali kehilangan maknanya, menjadi hanya gema yang hampa di tengah lautan kebisingan.

Kita sering kali lupa bahwa hidup ini hanyalah perjalanan sementara. Di tengah kesibukan dan kebisingan, kita terjebak dalam ilusi bahwa segala sesuatu harus diungkapkan, bahwa kebenaran kita adalah kebenaran mutlak yang harus diketahui oleh semua orang. 

Namun, apakah kita benar-benar perlu bersuara dalam setiap kesempatan? Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman, pernah mengungkapkan bahwa "Kesunyian adalah dialek yang paling dalam dan asli dari eksistensi." Dalam kesunyian, kita menemukan kedalaman yang tidak bisa dijangkau oleh kata-kata. Ada momen-momen di mana diam adalah bahasa yang paling murni dan paling jujur, sebuah cerminan dari jiwa yang tenang dan bijaksana.

Manusia sering kali tidak hati-hati dalam berbicara, dan lebih sering lagi tidak berhati-hati dalam mengekspresikan diri di dunia digital. Ketika hati tertutup oleh ego dan hasrat untuk diakui, lidah menjadi alat yang digunakan untuk mempertahankan diri, bukan untuk mengungkapkan kebenaran. 

Dalam dunia di mana setiap postingan dapat menjadi suara yang menggema tanpa akhir, kita sering lupa bahwa tidak semua hal harus diucapkan, tidak semua pendapat harus dipublikasikan. 

Ada keindahan dalam memilih untuk diam, dalam memberikan ruang bagi refleksi sebelum berbicara atau menulis. Ketika kita terlalu berisik, kita kehilangan kepekaan terhadap suara hati kita sendiri, terhadap momen-momen berharga yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan.

Keheningan bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah kekuatan yang tak terlihat. Dalam diam, kita memberikan ruang bagi hati untuk merenung, bagi jiwa untuk bernafas, dan bagi pikiran untuk menemukan kedamaian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun