[caption caption="sumber: preindo.com"][/caption]“Aku menemukan ibumu di Pasar Terban. Dia duduk sendirian di emperan toko kelontong yang belum buka,” tutur temanku Pingkan. Tersengal, nafasnya naik turun dengan cepat. Ekspresi kebingungan aku tangkap jelas di wajahnya. Dahinya berkerut. Ada banyak tanya yang dia ungkapkan lewat tatapan matanya.
Aku mengangguk pelan. Tak sekali dua kali ibu berusaha kabur dari rumah. Percobaan pertamanya berhasil digagalkan oleh abang semata wayangku, Gilang. Selanjutnya bergantian para tetangga yang menggagalkan upaya ibu. Dengan sigap mereka segera menelepon aku atau abangku bila ibu melakukan hal yang sama.
“Terima kasih, Pingkan,” aku menjawab pendek. Kuabaikan tatapan penasaran Pingkan. Aku terlalu lelah untuk menjelaskan semuanya. Biarlah dia simpan rasa ingin tahunya tanpa secuil kata dariku.
Sampai kapan kau berhenti melakukan ini, ibu?
=========
Aku basuh kakinya yang berlumuran tanah basah. Kupungut daun kering yang tersangkut di rambutnya. Perlahan kubalurkan shampo ke kulit kepalanya. Busa melimpah segera menyingkirkan bau tak sedap yang menguar tajam dari sana. Guyuran air dingin refleks membuat tubuhnya merinding. Ibu merasa kedinginan rupanya. Aku atur arah kran ke posisi air hangat. Suara air yang menggerojok deras ke ember memecahkan heningnya kamar mandi.
“Merasa lebih hangat, Bu?”
Anggukan pelan kepalanya memberiku jawaban jelas. Kutuang sabun cair di tangan dan kuusapkan ke badan ibu. Gosokan spon membantuku menghilangkan semua sisa kotoran yang melekat. Lagi-lagi guyuran air hangat susul-menyusul membasahi sekujur tubuhnya. Selesai. Jas mandi yang sudah kusiapkan segera aku pasangkan ke badan ibu.
“Aku mau daster berbunga ungu,” ujarnya pelan. Aku mengangguk.
Ibu bahkan masih sangat menyukai kado ulang tahun yang diberikan ayah lima tahun yang lalu. Bunga-bunga ungunya sudah pudar di beberapa tempat. Kancing yang berbaris di dada tak lagi utuh terpasang. Lubang berukuran sedang menganga di bagian ketiak. Meski demikian, ibu sangat menyayangi daster itu.
“Cantik, kan?” tanyanya sambil mematut dirinya di depan cermin. Berputar, tersenyum pada bayangannya sendiri. Mengangkat kedua lengan ke atas, tertawa terbahak-bahak pada ketiaknya yang memantul jelas.