Sungguh saya sangat senang setiap kali melihat hasil karya mereka terbit. Lebih senang lagi saat melihat buletin yang dibagikan secara cuma-cuma tersebut mendapat apresiasi yang baik dari berbagai pihak, seperti sesama murid, guru, wali murid, pemasang iklan, dan pihak yayasan. Kalau sudah begini rasanya langsung lenyap segala lelah saat menyusun dan berkejaran dengan deadline.Â
Perasaan tidak mudah puas yang saya miliki rupanya menjangkiti sebagian murid saya. Bila bekerja bersama dalam sebuah tim jurnalistik mereka begitu digdaya, bagaimana rasanya mencoba menulis sebagai single fighter? Saya memberikan tantangan pada mereka untuk menulis atas nama pribadi dalam sebuah blog keroyokan seperti Kompasiana. Mengapa saya merekomendasikan Kompasiana karena besar peluang tulisan murid untuk dibaca dan mendapat masukan dari banyak orang. Saat itu saya masih melihat beberapa murid menunjukkan wajah bimbang. Keberanian mengekspresikan diri lewat tulisan dalam tim rupanya tidak selalu berbanding lurus dengan keberanian mengaktualisasikan diri secara personal.Â
Saya pun memahami keraguan mereka. Yang tak pernah putus saya lakukan adalah memberikan dorongan agar keberanian mereka dalam berekspresi lewat barisan kata muncul. Tak hanya memberikan motivasi, sebisanya saya mencoba memberikan contoh nyata dengan menulis dan terus menulis. Seringkali saya ceritakan pada mereka asiknya menulis secara pribadi. Selalu berbinar mata saya kala bercerita tentang kepuasan batin yang didapat dari menulis. Terlebih bila tulisan dapat membuat orang lain terinspirasi. Wah, itu menjadi kebahagiaan yang tak mungkin terbeli dengan uang.Â
Perlahan namun pasti kini satu per satu murid pun mulai tertarik menjajal kemampuanya dalam berolah aksara di Kompasiana. Mereka memiliki minat untuk menuliskan tema yang berbeda-beda. Ada yang sangat menggemari politik hingga sastra. Tak mengapa, bagi saya remaja seperti mereka berani mengambil langkah untuk menulis itu sudah sangat luar biasa. Siapa saja mereka? Mari saya perkenalkan satu per satu.
Remaja 14 tahun ini sejak awal memang menunjukkan ketertarikan yang sangat tinggi pada buku. Segala macam jenis buku dilahapnya, mulai dari buku motivasi hingga politik. Jika kini dia lebih intens bergelut dengan buku-buku bergenre politik, tentunya itu tidak terlepas dari kekagumannya pada sosok Soekarno. Tak heran jika penggemar karya Pramoedya Ananta Toer ini lebih sering menulis artikel tentang politik.Â
Pemikirannya termasuk kritis jika dibandingkan anak seusianya. Kalau tidak mengenal sosoknya, bisa jadi pembaca mengira sang penulis adalah orang dewasa. Dari empat karya yang telah dihasilkannya, sebanyak satu kali tulisannya menembus headline dan empat kali menjadi tulisan pilihan. Lebih dari 3400 orang pernah membaca buah pikirannya. Sebuah awal yang menggembirakan tentu saja.
[caption caption="tulisan Shoma menembus headline (dokpri)"]
Sebagai gurunya saya berharap Shoma selalu konsisten dalam berkarya dan tetap rendah hati untuk menerima segala masukan demi perbaikan-perbaikan bagi karya selanjutnya.Â
Duduk di bangku kelas 7 sekolah menengah pertama tak membuat Fandy merasa gentar untuk mengaktualisasikan potensinya. Kegemarannya pada dunia membaca rupanya menjadi dasar yang bagus untuk mengembangkan diri dalam menuliskan karya. Keinginan menjadi seorang penulis besar yang mencatatkan namanya dalam sejarah selalu menggoda hatinya. Kritisnya pemikiran Fandy juga menjadi dasar yang bagus dalam memilih tema menulis. Dari tiga tulisan yang telah dihasilkan, semua berawal dari kegelisahannya tentang segala sesuatu yang terjadi di masyarakat, seperti masalah pendidikan dan masalah generasi muda yang apatis. Tulisan Fandy termasuk menarik. Buktinya ada satu dari tiga karyanya yang dipilih admin menjadi tulisan pilihan.