Sebidang tanah satu-satuya peninggalan Bapakku disulapnya menjadi kebun sorgum. Pangan yang saat itu tidak dipandang oleh masyarakat. Ia tak malu saat banyak warga mencemooh usahanya yang ternyata kemudian mampu membantu kami keluar dari keterpurukan.
Saat menatapnya, saat itu juga kekuatanku hilang. Seluruh tubuhku merasa sangat perih tidak hanya hatiku. Penyesalan bertahun lamanya mulai menyesaki dadaku. Aku ambruk ke tanah di hadapannya.
 "Maafkan aku, Ma!" seruku tercekat sambil menantapnya. Ia terus tersenyum. Tanpa kata. Hanya memandangku.
Aku mulai terisak.
"Aku merindukan mama. Aku telah menikah. Bukan dengan  Bian, Ma. Bian meninggalkanku dalam pelarian kami. Persis seperti yang mama bilang. Ia tidak mencintaiku, Ma. Aku terlalu naf diusia muda ku, Ma. Aku tak pernah mendengarkan Mama. Maafkan aku." Dalam tangisan histeris aku terus meluapkan semua yang ingin ku katakan selama ini tanpa sekalipun berani menatap wajahnya.
"Aku tahu mungkin sudah terlambat. Tapi Ma, tolong maafkan aku," kataku mengiba.
Aku merasa sebuah pelukan hangat memelukku. Kakakku memelukku dengan erat lalu mengangkatku berdiri. Aku memeluk kakaku dengan erat. Aku rindu kebersamaan kami. Aku rindu dia yang selalu menjagaku. Aku rindu padanya yang selalu mengutamakan aku. Yang memberi semua bagian jajannya untukku. Yang tak pernah tega melihatku menangis.
"Mama telah memafkanmu. Bahkan sejak pertama kali ia menyadari,  kau dan  Bian telah pergi  meninggalkan desa kita. Mama menderita oleh perasaan bersalah. Mama menyadari betapa ia terlalu keras padamu. Mama merasa gagal membuatmu menyadari bahwa ia berusaha melindungimu."
Tangisku makin menjadi-jadi. Ada luka yang merembeskan darah di ujung hatiku. "Lihatlah lilin di hadapan potretnya ini. Sebelum kematiannya ia telah berpesan agar lilin ini terus bernyala, hingga kau datang. Ia yakin, anak bungsu kesayangannya, putri kecilnya, akan datang dan kembali ke rumah ini.Â
Seandainya ia mampu, kakak yakin, akan ia lawan sakit ini dan bertahan menantimu. Namun semua sudah jadi kehendak semesta. Kami menantimu datang untuk penguburannya. Namun kau menunda untuk datang karena katamu belum siap saat itu. Hampir saja aku berteriak agar kau sadar, kau dipanggil karena mama telah tiada." Suara kakakku mulai tercekat. Aku merasakan kepedihannya. Ia menarik nafasnya, lalu melanjutkan.
 "Saat itu, aku hanya berjuang memenuhi permintaan Mama. Mama telah memintaku berjanji, untuk tidak mengatakan padamu jika suatu waktu kelak, ia telah pergi. Ia ingin kau datang dengan keyakinan bahwa ia masih ada. Karena ia selalu ada dan selalu menantimu kembali." Tangis kakaku pecah.