Kita sering mendengar bahwa lingkungan kerja yang memperkuat citra "kekerasan perlu dihadapi dengan tangguh" dapat menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi para anggota kepolisian. Mereka sering kali terpapar pada situasi-situasi traumatis seperti kecelakaan, kekerasan, dan kematian yang dapat meninggalkan bekas yang mendalam dalam psikologis mereka.
Bukanlah rahasia lagi bahwa tekanan kerja yang tinggi, beban tugas yang berat dapat menjadi pemicu stres kronis, kelelahan emosional, dan bahkan depresi di kalangan anggota kepolisian. Dalam konteks ini, adalah wajar jika anggota kepolisian merasa terjebak dalam siklus yang tidak sehat, di mana mereka merasa terpaksa menahan beban emosional mereka sendiri tanpa adanya saluran pengeluaran yang sehat.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari peran kultur dan tekanan kerja dalam lingkungan kepolisian yang dapat memperburuk masalah kesehatan mental. Perubahan kultur organisasi dan implementasi program dukungan kesehatan mental yang menyeluruh adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi risiko gangguan mental dan bunuh diri di kalangan anggota kepolisian.
Beberapa orang  mungkin berpendapat bahwa sebagai petugas kepolisian, mereka perlu memiliki ketangguhan mental yang lebih tinggi dan mampu mengatasi masalah kesehatan mental sendiri.
Argumentasi ini sering kali disebut sebagai "budaya macho" atau "budaya kekerasan". Budaya ini menekankan bahwa para petugas kepolisian perlu memiliki sifat keberanian, ketahanan, dan ketangguhan mental yang tinggi untuk dapat bertahan di lingkungan kerja yang penuh tekanan dan risiko.Â
Dalam pandangan ini, masalah kesehatan mental dianggap sebagai sesuatu yang seperlunya bisa diatasi sendiri oleh individu, tanpa perlu campur tangan atau dukungan eksternal. Namun, pandangan ini dapat dianggap sebagai terlalu sempit dan tidak memperhitungkan kompleksitas dari masalah kesehatan mental di kalangan anggota kepolisian.Â
Salah satu artikel dalam jurnal Oxford Academic dengan judul : Managing traumatic stress in the workplace telah menunjukkan bahwa tekanan kerja yang tinggi dan paparan terhadap trauma dapat menyebabkan stres kronis dan gangguan mental yang serius, yang tidak selalu dapat diatasi secara mandiri oleh individu. Selain itu, stigma terhadap masalah kesehatan mental dapat membuat para anggota kepolisian enggan untuk mencari bantuan, sehingga memperburuk kondisi mereka.
Oleh karena itu, sementara ketangguhan mental memang penting dalam profesi kepolisian, tidak adil untuk menempatkan seluruh tanggung jawab pada individu untuk mengatasi masalah kesehatan mental mereka sendiri. Sebaliknya, diperlukan pendekatan yang holistik dan dukungan yang komprehensif dari institusi dan masyarakat untuk membantu para anggota kepolisian dalam menjaga kesehatan mental mereka.
Tanggung Jawab Sistem dan Budaya Organisasi dalam Mendukung Kesehatan Mental Anggota Kepolisian
Meskipun ada yang berpendapat bahwa para anggota kepolisian perlu mampu mengatasi masalah kesehatan mental mereka sendiri, hal ini seringkali merupakan perspektif yang terlalu sempit dan tidak memperhitungkan faktor-faktor sistemik di tempat kerja yang dapat menjadi pemicu utama masalah kesehatan mental.Â
Menyalahkan individu atas masalah kesehatan mental mereka sendiri tidak hanya tidak adil, tetapi juga tidak memperhatikan realitas yang lebih luas di balik krisis ini.
Lingkungan kerja yang memperkuat budaya macho dan tekanan kerja yang tinggi dapat menjadi pemicu utama masalah kesehatan mental di kalangan anggota kepolisian. Faktor-faktor seperti tekanan untuk menunjukkan ketangguhan, kurangnya dukungan sosial, dan ketidakpastian dalam tugas-tugas yang mereka emban dapat memperburuk kondisi psikologis mereka.