Setelah pemilu, DPR sedang membahas penggunaan hak angket. Namun, peluangnya belum jelas, dan kita perlu memperhatikan masa pemerintahan yang tinggal sedikit dan kompleksitas prosesnya.
Dalam dinamika politik pasca-pemilu, perdebatan mengenai penggunaan hak angket oleh DPR untuk menyelidiki kecurangan dan pelanggaran dalam pemilihan umum menjadi sorotan utama.
Namun, di tengah sorotan ini, kita harus mempertimbangkan secara seksama persyaratan dan mekanisme yang terlibat dalam proses ini. Sudah jelas bahwa proses ini akan memakan waktu yang cukup panjang. Sementara itu, masa pemerintahan saat ini hanya tinggal menyisakan 8 bulan. Pertanyaannya, sejauh mana peluang penggunaan hak angket ini akan terealisasi di DPR?
Telah terungkap bahwa ada beberapa pelanggaran dalam proses pemilihan umum, baik sebelum maupun selama pemungutan suara. Baik kubu pasangan calon 01 maupun 03 menunjukkan niat untuk membawa temuan pelanggaran tersebut ke Mahkamah Konstitusi.Â
Dalam konteks ini, Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, dengan tegas mengusulkan langkah politik dengan memanfaatkan hak angket dan hak interpelasi di DPR. Ia mendorong partai pengusungnya, PDI Perjuangan dan P3, untuk mengajukan hak interpelasi dan angket terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.
Walaupun upaya Ganjar disambut positif oleh beberapa pihak, seperti Capres nomor urut 1, Anis Baswedan, yang yakin bahwa koalisi perubahan akan mendukung penggunaan hak angket. Namun masih ada ketidakpastian dari beberapa partai seperti PKS dan Partai Nasdem. Sementara itu, Partai Golkar menegaskan penolakannya terhadap penggunaan hak angket.
Ditambah lagi, kekuatan koalisi kabinet saat ini semakin solid dengan bergabungnya Partai Demokrat ke dalam koalisi pemerintah. Hal ini membuat perhitungan politik semakin kompleks. Di DPR, total dukungan koalisi yang mendukung Anis Baswedan dan Muhaimin mencapai 29,04%, sementara koalisi Prabowo-Gibran memiliki 45,39%, dan koalisi Ganjar-Mafud sebanyak 25,56%.
Hak interpelasi dan angket dapat dilaksanakan jika mendapat dukungan lebih dari 50% dari kekuatan parlemen. Namun, hal ini hanya akan berjalan lancar jika kubu 01 dan 03 bersatu. Hak angket memungkinkan DPR untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga melanggar hukum.
Meski begitu, proses penggunaan hak angket ini tetap memerlukan waktu yang cukup panjang. Terlebih lagi, dengan sisa masa pemerintahan yang hanya 8 bulan, Ganjar Pranowo menyatakan kekhawatirannya terhadap pelaksanaan hak angket. Namun, fokusnya tetap pada membawa kasus pelanggaran Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam suasana politik yang dinamis ini, partai-partai politik baik dari kubu 01 maupun 03 mulai melakukan perhitungan terkait kemungkinan bergabung dalam koalisi kabinet periode 2024-2029. Pertanyaannya, apakah wacana tentang penggunaan hak angket akan menguat atau justru mengendur? Kita perlu menunggu perkembangan selanjutnya.