Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Metode 5S: Memilih Diksi dalam Menulis Karya Sastra

18 Februari 2023   10:47 Diperbarui: 18 Februari 2023   21:40 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang penulis perlu memilih kata yang tepat dalam menulis karyanya. Hal ini penting sebab tidak semua kata bisa digunakan pada semua situasi dan kondisi. Pilihan kata menjadi fokus diskusi dalam kelas belajar menulis bersama narasumber Maydearly. Jumat, 17 Pebruari 2023

Kata diksi berasal dari bahasa Latin: dictionem. Kemudian kata ini diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi diction. Kata diction berarti: pilihan kata.

Dalam sejarah bahasa, Aristoteles -- filsuf dan ilmuwan Yunani - yang memperkenalkan diksi sebagai sarana menulis indah dan berbobot. Gagasan Aristoteles tentang diksi puitis kita temukan dalam salah satu karyanya yang berjudul Poetics.

Dalam Poetics dijelaskan bahwa seseorang akan mampu menulis indah, khususnya puisi, jika ia memiliki kekayaan yang melimpah tentang diksi puitis. 

Gagasan Aristoteles kemudian berkembang. Bahwa diksi tidak hanya diperlukan bagi penyair dalam menulis puisi. Para sastrawan yang menulis prosa dengan berbagai genre-nya harus menggunakan diksi yang tepat pula.

Penulis yang sangat terkenal dalam pemilihan kata untuk gendre lain misalnya William Shakespeare. William sangat piawai dalam menyajikan diksi melalui naskah drama. Ia menjadi mahaguru bagi siapa saja yang berminat menuliskan romantisme dipadu tragedi. 

Diksi Shakespeare relevan untuk menulis karya yang bersifat realita maupun metafora. Gaya penyajiannya sangat komunikatif, tak lekang digilas zaman.

Peran pilihan kata dalam sebuah karya satra

Pilihan kata yang tepat dan benar sangat membantu penulis menuangkan gagasannya lebih ekspresif. Diksi adalah roh. Diksi juga merupakan karakter bagi sebuah karya sastra. Diksi yang tepat dan benar mampu menggetarkan pembacanya.

Mengingat peran diksi begitu penting dalam karya sastra maka kajian bahasa menyimpulkan bahwa banyak keindahan  atas sebuah kata yang tak tereja oleh bibir. Diksi seperti pijar bintang di angkasa yang menunjukkan dirinya dengan kilauan. Lantas, apakah begitu sulit kita dalam berdiksi?

Terkadang banyak penulis yang merasa takut dalam memulai sebuah tulisan. Pertanyaan yang paling sering diajukan terhadap diri adalah apakah mungkin saya bisa menulis sebuah bahasa yang indah? Semacam ada keraguan yang dibungkam sebelum diterjemahkan dalam bahasa.

Menjawab keragu-raguan seperti itu maka diperlukan jurus pamungkas. Jurus ini  sekurang-kurangnya mampu memberi solusi agar tulisan tidak terdengar garing ketika dibaca.

Menulis itu sederhana. Menulis dari apa yang kita lihat. Menulis apa yang kita rasakan dan apa yang kita dengarkan. Lantas jurus apa yang harus kita pakai agar kita mampu menulis dengan segala keindahan

Melibatkan Lima macam panca indera

1. Sense of Touch

Sense of Touch adalah menulis dengan melibatkan indera peraba. Indra peraba dapat digunakan untuk memperinci dengan apik tekstur permukaan benda, atau apapun. Penggunaan indra peraba ini sangat cocok untuk menggambarkan detail suatu permukaan. 

Aplikasi indra peraba ini juga sangat tepat digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak terlihat, seperti angin misalnya. Indra peraba sangat cocok juga diterapkan untuk sesuatu yang kita rasakan dengan menyentuhnya, atau tidak dengan menyentuhnya.

Contoh:

Pada pori-pori angin yang dingin,
Aku pernah mengeja rindu yang datang tanpa permisi

2. Sense of Smell

Sense of Smell adalah menulis dengan melibatkan indra penciuman hal ini akan membuat tulisan kita lebih beraroma. Tehnik ini akan lebih dahsyat jika dipadukan dengan indra penglihatan.

Contoh:

Di kepalaku wajahmu masih menjadi prasasti,
Dan aroma badanmu selalu ku gantungkan di langit harapan

3. Sense of Taste

Sense of Taste adalah menulis dengan melibatkan indra perasa. Merasakan setiap energi yang ada di sekitar kita. Penggunaan indra perasa sangat ampuh untuk menggambarkan rasa suatu makanan, atau sesuatu yg tercecap di lidah.

Contoh:

Ku kecup rasa pekat secangkir kopi di tangan kananku,
Sembari aku menggenggam Handphone di tangan  kiriku.
Telah terkubur dengan bijaksana,
Dirimu beserta centang biru,
Diriku bersama centang satu.

4. Sense of Sight

Sense of Sight adalah menulis dengan melibatkan indra penglihatan. Metode ini memiliki Prinsip "show, don't tell". Selalu ingat, dalam menulis, cobalah menunjukkan kepada pembaca (dan tidak sekadar menceritakan semata). Buatlah pembaca seolah-olah bisa "melihat" apa yang tengah kita ceritakan. 

Penulis harus mampu membuat pembaca seolah-olah bisa menonton dan membayangkannya.  Prinsip utama dan manjur dalam hal ini adalah DETAIL. Tulislah apa warnanya, bagaimana bentuknya, ukurannya, umurnya, kondisinya.

Contoh:

Derit daun pintu mencekik udara ditengah keheningan,
Membuatku tersadar jika kamu hanya sebagai lamunan

5. Sense of hearing

Sense of hearing adalah menulis dengan melibatkan energi yang kita dengar. Begitu banyak suara di sekitar kita. Belajarlah untuk menangkapnya. Bagaimana caranya? Dengarlah, lalu tuliskan. Mungkin, inilah sebab mengapa banyak penulis sukses yang kadang menanti hening untuk menulis. Bisa jadi mereka ingin menyimak suara-suara. 

Sebuah tulisan yang ditulis dengan indra pendengaran akan terasa lebih berbunyi, lebih bersuara. Selain itu, penulis juga bisa berkreasi dengan membuat hal-hal yang biasanya tak terdengar menjadi terdengar.

Contoh:

Derum kejahatan yang mendekat terasa begitu kencang.
hening, tetapi terasa berat oleh jerit keputusasaan
yang dikumandangkan bebatuan,
sebuah keputusan yang menghakimiku
untuk tak lagi merinduimu


Acap kali dalam menulis, kita hanya melibatkan otak kita sebagai muara untuk berpikir.  Saatnya sekarang kita mengubah cara kita. Menulis sambil mendengar, merasa, meraba, dan melihat. Perlu diingat bahwa terkadang sesuatu di pelupuk mata bisa menjadi rongga untuk mencumbu tulisan kita.

Dokpri WAG KBMN 28
Dokpri WAG KBMN 28

Mengapa kita selalu melihat kursi yang kita duduki dengan pandangan yang begitu sederhana? Sesekali buatlah ia mempesona dan anggun. Di atas kursi ini, aku pernah memeluk ratapan bagaimana menungguimu dengan sebuah doa takdim.

Tahukah kamu seorang penulis sejati adalah seseorang yang tidak pernah merasa down. Seberapa sulit hal yang kita hadapi dia tidak akan pernah menyerah. Ia sama sekali tak putus asa, selalu berusaha mencoba dan terus mencoba. Seberapa sulit ia menata perasaannya, dia selalu menciptakan ide yang bagus ia selalu menumbuhkan ide-ide baru.

Setiap apapun yang kita lihat, setiap apa yang dirasakan, kita raba, bahkan kita ampukan sebagai sebuah senyawa yang mampu bersuara dalam karya sastra. 

Sumber: Tulisan ini adalah hasil diskusi bersama dalam kegiatan "Diksi dan Seni Bahasa" bersama narsum Maydearly dalam Kelas Belajar Menulis Nusantara PGRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun