Dalam hening sepi di ujung senja
Bisikan bumi mengusik telinga menyapa hati sang penyair: "Hadirlah di sini, di saat ini!"
Namun bisikan bumi tak dihiraukan penyair sebab pikirannya sibuk merajut kisah tentang ini dan tentang itu dalam bangunan logikanya.
Dalam hening sepi di ujung senja
Bumi sekali lagi menyapa hati: "Hadirlah di sini, di saat ini! Sadari nafasmu maka pikiranmu akan tenang dan pencerahan kau temukan".
Namun penyair menutup mulutnya dengan jari telunjuknya demi melarang bumi membisikkan kata kepada hatinya.
Kata penyair:Â "Jangan ganggu aku. Aku sedang mencari jejak-jejak Tuhan dalam pikiranku".
Dalam hening sepi di ujung senja
Sang penyair tidak menemukan jejak-jejak Tuhan dalam nafasnya.
Tuhan tak ditemukan.
Semakin penyair mencari Tuhan, semakin Tuhan tidak ditemukan
Dalam hening sepi di ujung senja
Di bawah terang rembulan tanpa kebisingan suara
Sang Penyair duduk bersila
Terus menarik dan menghembuskan nafasnya. Saat ini sang penyair mendengar rintihan kesakitan bumi: "Aku sangat sedih dan sangat sakit. Perutku digali dan dengan semena-mena mengeluarkan seluruh isi perutku tanpa ampun.. Badanku dilumuri dengan kotoran-kotoran  sampah. Air mataku yang menghidupkan semua makhluk dikotori, pakaian hijauku dilucuti sehingga lekukan tubuhku yang indah menjadi telanjang dan mengeluarkan panas membakar bayi-bayi yang rindu kesejukkan"
Dalam hening sepi di ujung senja
Sang penyair sadar bahwa sang pembisik telah menjadi korban keserakahan dari para pemuja pikiran tanpa hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H