Keempat, Pacek Pepak[11]
Pacek pepak adalah cara dan alat tanam tradisional yang biasa dilakukan saat menanam secara bergotong royong. Pacek pepak adalah peralatan tradisional terbuat dari bambu dan kayu yang dilengkapi dengan tofa. Bambu dilubangi dan dibelah. Pada ujung paling bawah dipasangi tofa untuk menggali lubang pada tanah. Biasanya, menanam secara tradisional dengan alat tanam pacek pepak dilakukan secara bergotong royong dalam suasana penuh suka cita dan damai.
Kegiatan pacek pepak dilakukan secara bersama-sama dalam satu irama gerakan. Pada saat pacek menyentuh tanah seketika mengeluarkan bebunyian yang menyentakkan hati. Bunyi-bunyian dari batang-batang bambu itu sungguh mengasyikan layaknya orkestra yang mengalun syahdu. Bunyi bambu bermakna selain sebagai hiburan sekaligus untuk mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman.
Pacek pepak biasa dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan bertugas menaburkan benih tanaman ke dalam lubang tanah. Acara pacek pepak biasanya berjalan sangat meriah karena diiringi dengan nyanyian khas oleh kaum perempuan dan laki-laki. Mereka saling berbalas pantun melalui bahasa-bahasa kiasan. Pantun berisikan sindiran, ajakan atau rayuan gombal. Dengan menyanyi dapat menghilangkan rasa capek sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Lahan yang luas bisa segera selesai ditanami berkat kebersamaan.
Kegiatan pacek pepak dapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya bila lahan belum selesai ditanami. Bila telah selesai ditanami maka seluruh warga kampung akan kembali berkumpul pada malam hari guna merayakan seluruh rangkaian aktivitas yang telah mereka lalui. Berbagai atraksi budaya dipentaskan seperti sanda, mbata, danding, landu atau tarian dan kesenian adat lainnya dalam nuansa kebersamaan dan persaudaraan sejati.
Pacek pepak bukanlah suatu kegiatan yang tidak memiliki makna. Ia memiliki makna yang sangat mendalam. Pacek pepak memiliki nilai hiburan, dipercayai mampu mengusir berbagai hama dan penyakit yang berpotensi menyerang tanaman sekaligus memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan sejati. Selain itu, dalam kegiatan komunal ini terkandung makna bahwa masyarakat Manggarai sudah memiliki daya upaya untuk mengatasi bencana kelaparan serta bencana hama dan penyakit terhadap tanaman.
 Penutup
Pendekatan budaya merupakan jawaban yang paling ampuh, jitu dan dianggap paling familiar untuk menyikapi bencana. Budaya memiliki relasi yang sangat erat dengan pola pikir, kebiasaan yang sukar diubah. Di dalam budaya, seseorang sudah, sedang dan akan terus memiliki kemampuan dasar mengenai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain untuk menanggulangi bencana. Pengingkaran atas budaya sama dengan pengingkaran atas dirinya sendiri sebab ia sudah lahir dalam suatu budaya. Seorang manusia seharusnya harus mensyukuri budayanya kalau ia tidak mau dianggap manusia rendahan atau manusia yang paling sial karena sudah dilahirkan.
Budaya sadar bencana adalah model yang sudah melekat erat dalam diri manusia, sang pemilik kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, kesadaran akan bencana dan solusinya sebenarnya sudah ada sejak seseorang itu lahir, melekat erat dalam diri manusia. Melalui kegiatan ritual tertentu hubungan dengan Tuhan, sesama dan lingkungan dipulihkan dan diharapkan bisa menjauhkan manusia dari bencana-bencana yang menimpa, kepincangan hidup dan kekurangan dalam kehidupan sosio ekonomi masyarakat.
Melaui Sanda Lima masyarakat Manggarai sudah menyadari bahwa bencana tidak akan datang bila adalah rumah tinggal, halaman tempat bermain, air minum, serta tempat beribadah sudah dipenuhi. Manusia dalam budayanya selalu berharap untuk terus mendapatkan berkat Tuhan sehingga pada gilirannya dijauhkan dari gangguan wabah penyakit, dijauhkan dari gangguan sesama manusia dan gangguan setan.
Manusia Manggarai menyadari bahwa dalam berelasi seringkali mengalami kepincangan. Untuk itu perlu diupayakan rekonsiliasi (hambor) antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan roh alam, manusia dengan nenek moyang, manusia pribadi dengan rohnya sendiri, manusia dengan Tuhan. Melalui berbagai ritus seperti Penti, oke copel, dan lain sebagainya orang Manggarai percaya bahwa peristiwa tragis/bencana pada generasi selanjutnya tidak terulang lagi.