Mohon tunggu...
Evi Wiyanti
Evi Wiyanti Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa Fakultas Agama Islam, Prodi Pendidikan Agama Islam diUniversitas Islam Lamongan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan terhadap Perempuan, Patutkah Perempuan Disalahkan??

30 Oktober 2024   05:00 Diperbarui: 30 Oktober 2024   08:03 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagaimana jika tidak ada financial cadangan ketika dalam keadaan darurat?? Itulah pentingnya mengkomunikasikan dengan baik keinginan masing-masing dan pentingnya kecerdasan emosional dalam membuat pertimbangan-petimbangan tanpa membawa ego si aku didalam keputusan tersebut.

Kemudian fenomena pernikahan dini/ early marriage, pernikahan dini Indonesia termasuk dalam tertinggi secara global. Hal ini memicu berbagai masalah yang terjadi dalam ranah domestik. Ketidakdewasaan, kondisi emosional yang belum stabil, kekerasan dalam rumah tangga yang notaben korbannya adalah perempuan. Lagi, dan lagi perempuan. Data Unicef 2023, Indonesia menempati peringkat 4 terbanyak dengan angka 23,53 juta jiwa dengan kasus pernikahan dini. Dan menjadi negara pertama se ASEAN dengan angka pernikahan dini terbanyak.

Bagaimana peran kita??? 

Intervensi dini, jangan biarkan orang-orang disekitar kita melakukan pernikahan dini, atau menikah dengan lelaki yang very patriarki. Memutus rantai ketimpangan gender bukan hanya peran pemerintah. Semua harus dimulai dari kita. Hal yang paling misogini dalam ranah publik adalah ketika perempuan menjadi makhluk yang dikontruksi masyarakat seakan harus mengerti dan memahami bagaimana dunia sekitarnya bekerja. Bahkan ketika mengalami kekerasan, perempuan juga harus memikirkan mengapa laki-laki atau pasangannya melakukan itu padanya alih-alih memperhatikan kondisi fisik dan psikologisnya sendiri. 

Kontruksi stigma yang menimpa perempuan korban kekerasan menjadi hal yang menakutkan bagi perempuan, tidak merasa dilindungi dan dirangkul oleh mereka yang melihat kejadian, tapi disalahkan dan kontruk sosial mengharuskan korban mempertanyakan, sikap, pakaian, perilaku, yang menyebabkan orang lain bertindak kekerasan terhadap korban.

Dalam sebuah data primer penelitian mahasiswa FISIP UNAIR mengenai stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual, dengan melibatkan sebanyak 377 responden availability sampling dengan responden korban kekerasan seksual. Didapatkan hasil bahwa meskipun mereka diposisikan sebagai korban, sanksi sosial yang kejam masih tetap berlaku. Sebanyak 23,9% disalahkan atas penampilan dan hal itu ditujukan kepada perempuan. 27,8% disalahkan karena cara berbicara, 26,8% dihujat tetangga dan 12,7% diintimidasi disosial media dan 33,2% diminta untuk bertobat. Sangat tidak adil jika Perempuan menjadi korban kekerasan hanya digeneralisir dari penampilan atau cara berpakaiannya.

Apa yang akan terjadi jika Perempuan yang mengalami kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan terus menerus disudutkan??

Battered women syndrome, menjadi salah satu dampak yang diterima Perempuan yang berada dalam hubungan abusive dan toxic. Sanksi sosial yang tidak masuk akal pun menyebabkan perempuan meragukan kebenaran dirinya sendiri. Stockholm Syndrom, kondisi ia bersimpati dan bertahan dengan alasan memahami laki-lakinya yang melakukan kekerasan terhadapnya.  Perempuan dibuat merasa denial, guilt atau mempercayai bahwa korban merupakan penyebab kekerasan itu terjadi.

Masihkah tidak bersimpati dan berempati??

Patutnya upaya intervensi tidak dibebankan kepada perempuan kaum feminis saja. Tapi semua orang yang mengetahui dan memahami bahwa kekerasan adalah hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Wacana women empowered, women support women, man support women bukan sekedar kata yang sebatas penerjemahan empati tanpa aksi. Kita semua bertanggung jawab terhadap terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Diamnya kita, adalah bentuk dukungan bagi kaum-kaum patriarkis misogini melancarkan aksinya dengan menyakiti lebih banyak perempuan.

Artikel ini tidak ditulis sebagai sarana menyalahkan laki-laki atas segala kekerasan terhadap perempuan. Tetapi untuk mengedukasi setiap orang bahwa angka kekerasan terhadap perempuan masih sangatlah tinggi. Upaya intervensi yang dilakukan tidak hanya dibebankan kepada laki-laki, tetapi pada perempuan. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki hak untuk menjadi merdeka. Dan seharusnya, tidak ada kekerasan terhadap gender apapun.Terlepas pakaian apa yang dikenakan, perkataan apa yang dilakukan sehingga terjadi kekerasan. Tidak pernah ada kata wajar, boleh dan pantas saja demikian pada setiap kekerasan yang dilakukan laki-laki ke perempuan begitupun sebaliknya. Kita tidak bisa memastikan pakaian tertutup akan menjaga perempuan dari perilaku kekerasan. Kekerasan verbal, kekerasan non verbal, kekerasan seksual, kekerasan fisik dsb. Pakaian tertutup akan mengurangi kemungkinan perempuan mendapatkan perilaku tidak menyenangkan, tapi tak jarang pakaian tertutup pula yang mendapat berbagai jenis kekerasan. Perlunya perilaku respect terhadap para korban, itu adalah hal utama yang harus kita lakukan alih-alih menghakimi cara berpakaian, cara berbicara dan lain-lain. Violence against women is evidence of the failure of human civilization to create peace. Gender justice is our shared responsibility.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun