Saya bukan penggemar sinetron, namun siapa yang tak tahu, sinetron Indonesia terkenal dengan jumlah episodenya yang fantastis. Jumlah episode yang diproduksi tiap judul tak tanggung-tanggung, ratusan hingga ribuan.
Beberapa sinetron bahkan sampai dibuat season dengan cerita yang semakin tidak menemui titik ujung. Kuantitas ini sangat berbanding terbalik dengan kualitas tayangan.
Rendahnya indeks kualitas program sinetron
Berdasarkan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode II tahun 2017 oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Indeks Kualitas Program sinetron menduduki peringkat kedua terendah dengan skor indeks 2,55. Program sinetron belum memenuhi standar kualitas yang ditetapkan KPI, dengan indeks kualitas minimal 3,00.
Kekeliruan adegan medis
Dari sinetron yang ada waktu ke waktu, banyak adegan yang terkesan digarap setengah hati. Terlepas dari alasannya, akurasi adegan harus menjadi perhatian rumah produksi. Pada adegan medis, perhatian perlu diutamakan pada hal-hal yang sifatnya prosedural, karena akan berbahaya jika diadopsi pemirsa yang salah kaprah.
Berikut beberapa kekeliruan adegan medis yang sering ditemui:
1. Adegan kejut jantung
Seorang aktor terkena serangan jantung setelah mengetahui anaknya bukan anak kandungnya. Sang aktor tidak sadarkan diri, pada dadanya terpasang alat rekam jantung.
Monitor alat rekam jantung menunjukkan gambaran garis lurus, menandakan jantungnya berhenti, dan alat pun berbunyi piiiiiiiiiiiiiiiiiiip.
Dalam kondisi gawat tersebut, dokter datang dengan tergesa-gesa membawa alat defibrillator, alat serupa sepasang setrika untuk melakukan kejut jantung. Setelah siap, dengan sigap dokter menempelkan alat tersebut pada dada sang aktor, lalu sang aktor terhentak.
Kenyataannya:
Kondisi ketika rekam jantung menunjukkan garis lurus disebut dengan "asistol". Kondisi ini menandakan berhentinya aktivitas listrik jantung secara total.
Kondisi ini tidak ditatalaksana dengan kejut jantung. Kondisi ini ditatalaksana dengan pijat jantung dan suntikan obat. Kejut jantung menggunakan energi listrik, pijat jantung tidak. Sehingga tindakan yang dilakukan dalam adegan sinetron tersebut menyalahi prosedur.
Merujuk kepada nama "defibrillator", "de" berarti menghilangkan, "fibrilasi" berarti getaran.
Terdapat kondisi medis yang menyebabkan jantung berdetak sangat cepat, sehingga jantung tidak lagi memompa melainkan hanya bergetar (fibrilasi). Kondisi tersebut ditandai dengan rekam jantung berbentuk rumput. Dalam kondisi inilah defibrillator digunakan untuk memperbaiki listrik dan irama jantung.
Alat ini tidak bisa digunakan jika aktivitas listrik jantung berhenti total, seperti di sinetron.
Hal ini penting diperhatikan, karena bisa terjadi salah kaprah antara keluarga pasien dengan dokter. Bila keluarga pasien berasumsi bahwa kejut jantung bisa dilakukan pada kondisi asistol, keluarga pasien bisa protes bila dokter tidak melakukannya. Padahal menurut prosedur yang benar, kejut jantung tidak dilakukan dalam kondisi demikian.
2. Adegan pingsan
Seorang aktris pingsan setelah mendengar dirinya adalah anak yang tertukar. Sang aktris dibawa ke IGD rumah sakit. Petugas kesehatan menghampiri sang aktris yang terbaring di brankar dan memberikan obat minum melalui mulutnya, dalam kondisi sang aktris masih pingsan.
Kenyataannya:
Tindakan ini, jika dilakukan di dunia nyata, bisa membuat si petugas kesehatan dipanggil ke persidangan. Tindakan ini berisiko mengakibatkan masuknya cairan ke saluran napas pasien. Kondisi ini sangat berbahaya, bisa membentuk peradangan paru, bahkan berujung kematian.
Terhadap seseorang yang sedang pingsan, tindakan meminumkan sesuatu seperti air putih, obat, atau apa pun sangat dilarang. Jika ada obat yang harus diberikan, rute pemberian biasanya adalah melalui suntikan.
3. Adegan digigit ular
Seorang aktor bertarung melawan siluman ular. Setelah bergulat sekian lama, malang nasib, sang ular berhasil melancarkan gigitan berbisanya pada kaki sang aktor.
Aktor kedua datang menyelamatkan aktor pertama. Dengan cepat ia mengeluarkan jurus yang mematikan sang ular. Setelah ular mati, aktor kedua mengisap bisa dari gigitan ular di kaki aktor pertama, lalu memuntahkannya.
Kenyataannya:
Prinsip pertolongan pertama pada gigitan ular adalah memperlambat penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh, sebelum sampai mendapat fasilitas kesehatan untuk tatalaksana definitif.
Hal yang dapat dilakukan adalah menenangkan korban, mencegah pergerakan korban (imobilisasi) dan memakaikan bidai serta bebat tekan (pressure pad)Â pada area gigitan, lalu memosisikannya lebih rendah dari jantung.
Metode seperti mengisap bisa dari luka, menyayat atau menusuk area luka, mengikatnya dengan kencang, atau mengoleskan apa pun telah terbukti berbahaya, baik bagi korban maupun penolong.
Mengisap bisa ular seperti di sinetron, selain tidak efektif, justru menimbulkan risiko penyebaran bisa ular kepada penolong. Bagaimana jika pemirsa meniru adegan ini pada kasus gigitan ular, lalu terjadi perburukan kondisi pada korban atau penolong? Hmm.
4. Adegan timbul-hilang penyakit yang ajaib
Seorang aktris disabotase oleh saudara tirinya akibat perebutan harta warisan. Sang aktris tertabrak mobil, kepalanya terbentur dengan keras. Saat dirawat di rumah sakit, sang aktris tiba-tiba lupa segalanya.
Setelah mengalami amnesia berkepanjangan, suatu saat sang aktris kepalanya kembali terbentur. Ia sembuh dari amnesianya, dan ingatannya kembali dengan sempurna.
Kenyataannya:
Ini termasuk tidak akuratnya fenomena yang digambarkan di sinetron. Seseorang yang mengalami amnesia butuh waktu dan usaha untuk mengembalikan ingatannya.
Penyembuhan terjadi bertahap, sedikit demi sedikit, dibantu oleh keluarga dan terapis. Resolusi tidak terjadi secepat itu, dan tidak dengan cara memberi benturan kepada kepala pasien.
Masih banyak adegan timbul-hilang penyakit yang sering ditemui di sinetron, seperti kanker stadium akhir, operasi mata, dan lain-lain.
5. Perban dahi yang legendaris
Stop korban sinetron
Televisi masih menjadi media yang banyak dikonsumsi oleh sebagian kalangan. Diperlukan komitmen untuk melanggengkan program berkualitas di dalamnya. Masyarakat yang terdidik tentu lebih bisa menalar dan menyaring konten. Namun, bagaimana dengan yang lain?
Tapi tunggu dulu, ternyata ada juga tokoh terdidik yang mengadopsi adegan sinetron.
Jangan sampai jatuh lagi korban seperti itu, dimana mobil sang "korban" menabrak tiang, diberitakan dahi bengkak sebesar bakpao, gegar otak terancam amnesia, lalu dirawat di ruang biasa dengan selang dan kabel yang tidak terhubung ke mesinnya.
Kini beliau sudah tergabung dalam pasukan oranye KPK akibat korupsi mega proyek, setelah beradu peran di mega proyek sinetron. Duh, semoga tulisan ini tidak dijerat UU ITE.
Semoga pihak industri sinetron segera membenahi kualitas tayangan sinetron tanah air, memenuhi amanat UU nomor 33 tahun 2009 pasal 4, bahwa perfilman mempunyai fungsi pendidikan dan informasi.
Salam kreatif untuk pihak industri sinetron Indonesia.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H