Mohon tunggu...
Evita Yolanda
Evita Yolanda Mohon Tunggu... Dokter

Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merayakan Kesederhanaan

1 Januari 2018   07:37 Diperbarui: 1 Januari 2018   19:26 1329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: www.neeranjali.com

Bagi saya, tempe goreng plus sayur bening buatan ibu saya jauh lebih enak dibanding sajian di resto bintang lima di puncak bukit. Ada balutan kasih sayang dari masakan ibu yang membuat endorfin bersirkulasi dalam aliran darah saya lebih masif dibanding makan makanan 'elit'-yang harganya mahal dan seringkali porsinya sedikit, hehe. Tapi mungkin tidak demikian jika saya tidak pernah merasakan merantau dan jauh dari keluarga.

Di pantai merindukan gunung, di gunung merindukan pantai.

Kita selalu menginginkan apa yang belum kita miliki. Jika sudah dimiliki, lama-lama bosan, lalu menginginkan yang lain. Dulu, waktu saya masih tinggal bersama keluarga, rasanya ingin sekali pergi merantau dan merasakan asiknya petualangan di tanah orang. Kini, setelah bertahun-tahun jauh dari keluarga, saya sangat merindukan rumah. Merindukan hal-hal sederhana seperti pulang disambut senyuman ibu, duduk di meja makan bersama keluarga, hingga masakan sesederhana sayur bening dan tempe. Namun, seperti yang sudah saya sebutkan, mungkin tidak demikian jika saya tidak pernah merasakan merantau dan jauh dari keluarga.

Manusia memiliki sifat dasar yang cenderung tidak menyukai stagnansi. Sebagai contoh dalam analisis teori perilaku saat melakukan keputusan bisnis, dikatakan bahwa manusia cenderung mengambil keputusan bisnis yang berisiko dan irasional, apabila ia sedang berada dalam kondisi 'too much certainty'  semata-mata karena ia ingin melihat reaksi atau akibat dari keputusan yang dibuatnya; karena bosan.

Kita selalu menginginkan hal-hal baru, hal-hal yang belum dimiliki, yang menarik, dan kita pikir akan membahagiakan.

Rumput tetangga selalu lebih hijau, belum ditambah benalu bernama keinginan tak berkesudahan. Susah sekali menyederhanakan hidup jika kita terus melihat orang lain, apalagi para 'social climber' yang bertebaran di media sosial. Tidak usah mengejar gunung bila sedang di pantai, lalu mengejar pantai saat berada di gunung. Nikmati saja di mana kita berada.

Relatifnya definisi bahagia.

"Saya akan bahagia jika saya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri". Lalu ketika sudah bekerja dengan penghasilan sendiri, entah mengapa pengeluaran juga semakin besar dan rekening tagihan dimana-mana, waktu terasa begitu sempit dan sibuk, pekerjaan pun menjadi tidak menggairahkan lagi. Lalu dimana kebahagiaan?

"Saya akan bahagia ketika sudah menikah dengan orang yang saya cintai". Lalu ketika sudah menikah, segudang problema baru muncul, masalah beli rumah, beli keperluan rumah tangga, cekcok dengan mertua, cekcok dengan pasangan. Lalu dimana kebahagiaan?

"Saya akan bahagia ketika sudah pensiun dan bisa menikmati hidup saya dengan tenang". Lalu ketika sudah pensiun, anak-anak sudah sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak memiliki waktu untuk kita, dan penyakit mulai menggerogoti tubuh renta kita, tidak menutup kemungkinan kita hanya akan terbaring di tempat tidur. Lalu dimana kebahagiaan?

Kita selalu berkejar-kerjaran dengan makhluk bernama bahagia. Dia selalu ada di depan, di masa depan. Kata 'bahagia' seringkali kita sandingkan dengan kata 'jika' dan 'bila'. Mungkin anak kecil yang tidak punya apa-apa jauh lebih bahagia dari kita. Mereka yang hidup dengan rumah kayu dan keluarga kecilnya, mungkin lebih bahagia dibanding mereka yang tinggal di istana porselen, namun keluarga saling berjauhan satu sama lain.

Ilustrasi. Sumber: huffingtonpost.com
Ilustrasi. Sumber: huffingtonpost.com
Jiwa kanak-kanak yang bebas.

Ketika kita beranjak dewasa, kita mulai menetapkan target dalam hidup, membuat harapan-harapan yang ingin dipenuhi. Masalah, per definisi, merupakan kesenjangan antara harapan (das sollen) dengan kenyataan (das sein),antara kebutuhan dengan yang tersedia, antara yang seharusnya (what should be)dengan yang ada (what it is). Itulah sumber menggunungnya masalah kita.

Pernah membaca atau menonton The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupéry? Video di atas berisi cuplikan The Little Prince, satu di antara banyak adegan dengan nilai filosofis dan pemikiran idealis tentang hidup manusia dan berbagai sistem di dalamnya. 

The Little Prince dalam novelnya, menceritakan tentang seorang pilot yang bertemu dengan pangeran kecil dari luar angkasa. Dalam cerita, Saint-Exupéry menyematkan pandangannya tentang manusia yang sering melakukan misinterpretasi dan melupakan kebenaran sederhana seiring ia tumbuh dewasa.

Dengan menumpang gerombolan burung, pangeran kecil menjelajahi  alam semesta. Dalam perjalanan ini, ia mengunjungi beberapa asteroid. Pada asteroid pertama, pangeran kecil bertemu dengan seorang raja yang mengaku berkuasa atas semua hal, termasuk bintang dan bisa memerintah mereka untuk melakukan apa saja. Saat pangeran kecil mengajukan sebuah permintaan kepada raja, raja berdalih bahwa permintaannya akan dikabulkan dengan kondisi tertentu pada waktu tertentu sambil tertawa masam seolah meragukan kekuasannya sendiri, kontradiktif atas pernyataannya bahwa ia menguasai segalanya.

Di asteroid kedua, pangeran kecil bertemu dengan seorang pria yang sombong yang digambarkan sangat gila pujian. Dia meminta pangeran kecil untuk bertepuk tangan agar ia dapat mengangkat topinya dan bersalutasi atas dirinya sendiri. Dia berpikir bahwa dia adalah orang yang terhebat di planetnya. Dia mengira bahwa semua orang adalah penggemarnya. Padahal, hanya ada satu orang diplanet tersebut: dirinya sendiri!

Di asteroid berikutnya, pangeran kecil bertemu dengan seorang pengusaha yang obsesif sedang sibuk menghitung bintang-bintang. Pangeran kecil bertanya, untuk apa menghitung-hitung tiada henti seperti itu? Sang pengusaha mengatakan untuk mendapat keuntungan, mendapat lebih banyak uang dan menjadi kaya. Pangeran kecil bertanya, untuk apa menjadi kaya? Pengusaha menjawab untuk membeli lebih banyak bintang! Pangeran kecil semakin bingung dengan keanehan orang dewasa.

Orang dewasa hidup dalam asumsinya sendiri, dengan citra yang diimajinasikan sendiri, dengan kebahagiaan yang digantungkan pada tolak ukur yang kadang menyengsarakan diri sendiri. Kapan terakhir kali kebahagiaan kita terletak pada kesederhanaan? Tidak sadarkah kita bahwa semua itu hanya ilusi seperti orang-orang dewasa yang hidup di planetnya sendiri pada film ini?

"Growing up is not the problem, forgetting is."

Pesan mendalam dari The Little Prince tentang kesederhanaan tertuang dalam kutipan pesan dari rubah kepada pangeran kecil:

"On ne voit bien qu'avec le cœur, l'essentiel est invisible pour les yeux." yaitu:

Seseorang hanya dapat melihat dengan sebaik-baiknya melalui hatinya

Karena yang terpenting (dalam kehidupan), tidak terlihat oleh mata.

Tidakkah kesederhanaan akan lebih membahagiakan?

Salam kompasiana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun