Mohon tunggu...
Evita Wardatul Fauzi
Evita Wardatul Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Yogyakarta State University

Love to read a book.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Realitas Tersembunyi Media Sosial: Revenge Porn

16 Januari 2025   18:09 Diperbarui: 16 Januari 2025   18:09 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Jabar Ekspres

Perkembangan teknologi digital semakin cepat telah mengubah lanskap kehidupan manusia. Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan informasi telah mengubah secara massive cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, atau bahkan menjalin hubungan. Di balik kemudahan konektivitas yang bisa didapatkan dalam dunia digital, tersembunyi realitas yang kelam dan memprihatinkan. Meluasnya jangkauan internet di semua kalangan telah menyebabkan konsekuensi berupa peningkatan kasus kekerasan seksual, salah satu kasusnya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). KBGO semakin sering terjadi dan menjadi permasalahan umum di ranah dunia digital. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) merupakan kekerasan yang terjadi di dunia digital dengan menyerang seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Dalam kasus yang ada, kekerasan seksual baik yang terjadi secara fisik maupun verbal seringkali terjadi kepada perempuan. Hal tersebut dikarenakan lingkungan masyarakat yang masih menganut stereotype budaya patriarki yang tergolong kental, sehingga membuat kaum perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan seksual. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 yang di dalamnya tercatat bahwa terdapat 401.975 kasus kekerasan pada perempuan. sepanjang tahun 2023. Data kekerasan tersebut mengalami penurunan 12% atas sekitar 55.920 kasus dibandingkan tahun 2022 yaitu menjadi 401.975 dari 475.895 kasus.

Isu kekerasan seksual merupakan isu yang sangat sering dibahas di sosial media. Isu ini menjadi penting untuk dikawal karena jumlah kasusnya yang tergolong banyak setiap tahunnya. Di era digital ini, penggunaan internet sebagai sarana hiburan dan komunikasi semakin meningkat. Menurut databoks, We Are Social mencatat bahwa terdapat 139 juta identitas pengguna media sosial di Indonesia, yang setara dengan 49,9% dari total populasi nasional. WhatsApp menjadi aplikasi sosial media paling banyak dipakai oleh pengguna internet yaitu mencapai proporsi 90,9% dan diikuti oleh Instagram sebanyak 85,3% . Hampir seluruh lapisan masyarakat telah menggunakan internet dan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut memberikan dampak positif dengan semakin mudahnya koneksi komunikasi dan persebaran informasi. Akan tetapi, kemudahan akses inilah yang dapat memicu terjadinya kekerasan gender berbasis online.

KBGO merupakan ancaman yang nyata bagi seluruh kalangan. Salah satu bentuk kekerasan ini yang sering dibahas adalah Revenge Porn atau Pornografi Balas Dendam. Revenge Porn adalah kegiatan menyebarluaskan foto atau video intim yang dibuat secara pribadi kepada publik tanpa persetujuan orang yang ada di dalamnya. Hal ini biasanya terjadi apabila suatu hubungan berakhir dengan tidak baik dan memicu adanya perasaan ingin mempermalukan dan melecehkan salah satu pihak dengan motif balas dendam. KBGO Revenge Porn pada kenyataannya lebih sering menyerang perempuan dikarenakan adanya anggapan sosial bahwa perempuan merupakan objek seksualitas dan bagian tubuh perempuan adalah ornamen. Perempuan lebih rentan mendapatkan kekerasan seksual dan menjadi korban dengan persentase mencapai 71%. Masyarakat seringkali beranggapan bahwa tersebarnya foto atau video intim di sosial media merupakan akibat dari kelalaian dan keceroboan perempuan dalam menjaga data pribadinya. Fenomena revenge porn sering dijumpai pada pasangan muda-mudi baik yang sudah menikah secara sah maupun yang belum menikah. Revenge porn tidak akan terjadi apabila semua pihak melaksanakan consent yang sudah disetujui sebelumnya. Namun kenyataan yang terjadi tidak selalu berjalan sesuai rencana, adanya faktor internal atau eksternal dapat menyebabkan berakhirnya hubungan secara tidak baik dan memicu terjadinya revenge porn. Contohnya yaitu kasus yang terjadi pada seorang mahasiswi di Pandeglang, Banten. Mahasiswi berinisial IAK (23) merasakan kejahatan pornografi balas dendam dari mantan kekasihnya yaitu Alwi Husein Maolana (22). Menurut penjelasan korban, pelaku telah memperkosa IAK selama 2 kali dan merekam kejadian tersebut melalui ponsel. Video tersebut dijadikan senjata oleh pelaku untuk mengancam korban apabila korban mengajak untuk mengakhiri hubungan. Kasus tersebut segera terungkap setelah kakak korban, Imam Zanatul Haeri mengetahui video asusila tersebut dan mengangkat kasusnya ke twitter (x) dengan akun @zanatul_91 untuk mencari keadilan bagi adiknya. Berdasarkan Pasal 45 Ayat (1) Juncto Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Alwi dituntut dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara dan didenda sebesar 1 miliar rupiah.

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang semakin banyak terjadi telah menjadi fokus pemerintah. Pada Selasa, 12 April 2022 telah disahkannya peraturan yang berisi penegakan hukum dan perlindungan korban kekerasan seksual yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini menjadi penyempurna dari peraturan sebelumnya yang sudah membahas mengenai kekerasan seksual dan pornografi namun masih berisi ambiguitas yaitu peraturan yang tertera dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Ketiga hukum tersebut menyebabkan problematika karena ketidakpastian, keambiguan, dan peraturan hukum yang timpang tindih dengan ketentuan yang ada dalam KUHP. Kemudahan teknologi dan konektivitas yang sedang berlangsung sudah seharusnya sejalan dengan peraturan pemerintah yang semakin ketat. Implementasi dari undang-undang mengenai kekerasan sosial harus dilaksanakan secara cermat, efektif, dan efisien. Anggapan masyarakat umum yang masih tabu mengenai hal-hal yang berbau seksual pun harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Diperlukan berbagai kampanye dan sosialisasi kepada seluruh masyarakat dan pihak-pihak berkepentingan mengenai kekerasan seksual serta undang-undang yang berlaku. Selain itu, adanya undang-undang terkait TPKS dan KBGO harus sejalan juga dengan peningkatan kapabilitas aparat penegak hukum untuk mendukung berjalannya penegakan undang-undang yang sudah ada. Diharapkan adanya kolaborasi dan integrasi dari berbagai pihak agar dapat mewujudkan lingkungan yang aman bagi seluruh kalangan terkhusus lingkungan digital untuk mendukung terciptanya Indonesia Emas tahun 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun