Suami informan telah melakukan kekerasan simbolik yang akhirnya membuat informan merasa tidak pantas dan selalu kurang untuk suaminya. Menurut  Bourdieu (2001) kekerasan simbolik adalah kekerasan yang lembut dan tidak terlihat bahkan oleh para korbannya. Kekerasan ini mengacu pada bentuk kekuasaan yang beroperasi melalui struktur sosial dan norma budaya, mengerahkan dominasi dan kontrol atas individu dan kelompok tanpa memerlukan kekuatan fisik. Ini adalah mekanisme halus dan seringkali tidak terlihat yang memperkuat hubungan kekuasaan yang ada dan mempertahankan hierarki sosial
Faktor eksternalnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diajarkan oleh keluarga mereka sejak kecil, faktor ekonomi dan dukungan sosial. Penampilan dan kecantikan adalah suatu hal yang menjadi sebuah prioritas bagi kaum perempuan, khususnya penampilan fisik. Menurut AM (2024), melalui hasil wawancara, informan memiliki pendapat dan pengalaman yang sama bahwa ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kecantikan perempuan suku Tionghoa. Menurut Bourdieu (dalam Kramsch, 2021), syarat keberhasilan dalam kekuasaan simbolik bahwa mereka yang tunduk padanya harus percaya pada legitimasi kekuasaan dan legitimasi mereka yang memegangnya. Prototipe kekerasan simbolik adalah dominasi maskulinitas. Dominasi maskulinitas ini secara umum tidak dianggap sebagai dominasi, diterima sebagaimana adanya karena tertanam dalam kebiasaan individu baik laki-laki maupun perempuan, misalnya, melalui dominasi gender yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Bourdieu dalam Burawoy, 2019).
Kesimpulan
Pemikiran patriarki sangat akrab jika dikaitkan dalam sifat maskulinitas. Konsep patriarki di hubungan suami istri dalam rumah tangga suku Tionghoa kerap kali menimbulkan kekerasan simbolik yang bahkan korbannya tidak menyadari hal tersebut. Â Melalui 2 pemikiran dan kekerasan simbolik tersebut, perempuan suku Tionghoa akan semakin tertindas dengan kepercayaan dan kebiasaan turun temurun yang akhirnya menjadi standar kecantikan dari seorang perempuan suku Tionghoa. Selain itu, kecantikan akan dipandang sebagai penunjang eksistensi diri. Bahwa citra tubuh yang dikonstruksikan membentuk sebuah standar kecantikan ideal di mata masyarakat dan pasangan. Oleh sebab itu perempuan suku Tionghoa selalu didorong untuk menjaga penampilan fisik, perkataan, perilaku mereka sesuai dengan citra yang diinginkan oleh kelompok sosialnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H