Mohon tunggu...
Evita Ariparno
Evita Ariparno Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/ Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Saya adalah orang yang pantang menyerah dan selalu ingin belajar hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Patriarki dan Kekerasan Simbolik dalam Standar Kecantikan Perempuan

28 Juni 2024   22:20 Diperbarui: 28 Juni 2024   22:24 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Suami informan telah melakukan kekerasan simbolik yang akhirnya membuat informan merasa tidak pantas dan selalu kurang untuk suaminya. Menurut  Bourdieu (2001) kekerasan simbolik adalah kekerasan yang lembut dan tidak terlihat bahkan oleh para korbannya. Kekerasan ini mengacu pada bentuk kekuasaan yang beroperasi melalui struktur sosial dan norma budaya, mengerahkan dominasi dan kontrol atas individu dan kelompok tanpa memerlukan kekuatan fisik. Ini adalah mekanisme halus dan seringkali tidak terlihat yang memperkuat hubungan kekuasaan yang ada dan mempertahankan hierarki sosial

Faktor eksternalnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diajarkan oleh keluarga mereka sejak kecil, faktor ekonomi dan dukungan sosial. Penampilan dan kecantikan adalah suatu hal yang menjadi sebuah prioritas bagi kaum perempuan, khususnya penampilan fisik. Menurut AM (2024), melalui hasil wawancara, informan memiliki pendapat dan pengalaman yang sama bahwa ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kecantikan perempuan suku Tionghoa. Menurut Bourdieu (dalam Kramsch, 2021), syarat keberhasilan dalam kekuasaan simbolik bahwa mereka yang tunduk padanya harus percaya pada legitimasi kekuasaan dan legitimasi mereka yang memegangnya. Prototipe kekerasan simbolik adalah dominasi maskulinitas. Dominasi maskulinitas ini secara umum tidak dianggap sebagai dominasi, diterima sebagaimana adanya karena tertanam dalam kebiasaan individu baik laki-laki maupun perempuan, misalnya, melalui dominasi gender yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Bourdieu dalam Burawoy, 2019).

Kesimpulan

Pemikiran patriarki sangat akrab jika dikaitkan dalam sifat maskulinitas. Konsep patriarki di hubungan suami istri dalam rumah tangga suku Tionghoa kerap kali menimbulkan kekerasan simbolik yang bahkan korbannya tidak menyadari hal tersebut.  Melalui 2 pemikiran dan kekerasan simbolik tersebut, perempuan suku Tionghoa akan semakin tertindas dengan kepercayaan dan kebiasaan turun temurun yang akhirnya menjadi standar kecantikan dari seorang perempuan suku Tionghoa. Selain itu, kecantikan akan dipandang sebagai penunjang eksistensi diri. Bahwa citra tubuh yang dikonstruksikan membentuk sebuah standar kecantikan ideal di mata masyarakat dan pasangan. Oleh sebab itu perempuan suku Tionghoa selalu didorong untuk menjaga penampilan fisik, perkataan, perilaku mereka sesuai dengan citra yang diinginkan oleh kelompok sosialnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun