Studi kasus pada hubungan suami istri suku Tionghoa.
Pendahuluan
Ras dan etnisitas pada awalnya hanyalah penanda tempat asal seseorang. Etnisitas itu kemudian dapat ditandai dari Bahasa tutur, praktik tradisi budaya, pakaian yang digunakan dan barang yang didagangkan. Menurut Saraswati (2017, h. 63) Penyebab pembauran kultural menurut Bluse dalam Saraswati adalah faktor agama yang dianggap lebih berperan sebagai penanda pembedaan sosial masa prakolonial. Seiring dengan masuknya kolonial Belanda ke Indonesia, terjadi perubahan tafsiran akan ras dan etnisitas. Dimasa itu, ras tidak hanya dipandang sebagai penanda identitas tapi juga sebagai role model hampir dalam segala hal, tidak terkecuali pemaknaan kecantikan. Lepas dari kolonialisme, definisi cantik bagi perempuan Indonesia pun ikut berubah. Seiring dengan berkembangnya teknologi, disambut oleh ketajaman peran media massa dalam mengkonstruksi kecantikan bagi perempuan Indonesia.
Kemunculan China sebagai salah satu negara yang menjadi kiblat kecantikan perempuan Asia tidak terlepas dari fakta sejarah selama masa kolonial Belanda diklaim sebagai ras kulit kuning. Ini juga berlaku pada perempuan etnis Tionghoa yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka percaya bahwa kecantikan sebagai kekuatan/ aset yang perlu dirawat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, perempuan etnis Tionghoa dinilai cantik jika memiliki tubuh langsing, rambut lurus dan panjang, kulit bersih dan putih, pintar dalam mengurus rumah, dan pintar dalam merawat suami. Standar kecantikan tersebut dilandasi oleh pepatah filsafat China Kuno yang sudah mereka jalani secara turun-temurun. Menurut Bourdieu (2020a) menjelaskan bahwa tubuh melekat pada citra yang tidak bebas nilai, sekaligus menjadi aset fisik. Tubuh perempuan dikapitalisasi menjadi arena untuk mendapatkan citra yang ideal. Pada proses kapitalisasi ini, tubuh perempuan menjadi kekuatan produksi dan berada dalam ketertundukkan. Upaya untuk mewujudkan kepatuhan melalui tubuh dilakukan dengan berbagai cara. Media massa, misalnya, menjadi media penyebaran ideologi tentang “bagaimana seharusnya” tubuh perempuan ditampilkan. Tubuh perempuan juga berelasi dengan ekonomi melalui disiplin tubuh dan akses pekerjaan yang bisa didapatkan dengan bentuk tubuh yang “menarik”.
Dalam hubungan suami istri, pasangan memiliki peran penting agar dapat membangun komunikasi yang baik. Salah satu caranya adalah memuji pasangan dan tidak pernah melakukan kekerasan verbal terhadap “seharusnya” fisik pasangan. Namun pada sistem komunikasi yang terjadi, manusia tidak lepas dari relasi kuasa yang muncul karena sistem sosial. Sistem sosial tersebut menjadikan masyarakat terdiri atas berbagai strata sosial. Strata ini yang kemudian menyebabkan relasi komunikasi antar hubungan suami dan istri tidak pernah berjalan dengan setara. Sang suami merasa memiliki hak dalam menyampaikan ekspektasi yang dimiliki kepada istri sebagaimana seharusnya perempuan Tionghoa berpenampilan. Praktik yang dominatif ini dalam relasi manusia kerap berbentuk apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (Bourdieu, 2001).
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan peneliti di atas, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang bentuk kekerasan verbal yang terjadi dalam hubungan suami istri didalam keluarga etnis Tionghoa. Selain itu peneliti akan menunjukkan bahwa konsep kekerasan simbolik dari Bourdieu cukup aplikatif untuk melihat ketimpangan hubungan antara suami dan istri dalam bingkai budaya Tionghoa.
Metode
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara utuh atau menyeluruh sehingga peneliti dapat menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena kasus kekerasan verbal terkait standar kecantikan dalam hubungan suami istri rumah tangga suku Tionghoa. Peneliti memilih seorang informan yang memiliki kriteria sebagai berikut: perempuan beretnis Tionghoa, sudah berumah tangga, pernah mengalami kekerasan verbal dari suami terkait standar kecantikan, berusia 20 tahun. Data primer yang didapatkan dari proses wawancara dan observasi serta data sekunder yang diperoleh dari studi-studi dokumentasi (baik berupa buku, jurnal, situs internet, yang dapat mendukung penelitian) kemudian dianalisis melalui tiga tahap yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Pembahasan
Konsep kebudayaan dan tradisi suku Tionghoa kepada nilai-nilai budayanya menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam hubungan rumah tangga. Menurut Wolf (2004), menjelaskan tentang mitos kecantikan yang dibentuk oleh budaya patriarki secara turun-temurun. Hal ini sesuai yang dirasakan oleh informan ketika bercerita terkait kualitas komunikasi yang terjadi dalam hubungan rumah tangga mereka bersuku Tionghoa. Karena suami informan sendiri masih melakukan budaya patriarki, informan merasa suasana rumah menjadi tidak enak dalam berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Pendapat yang diberikan informan selalu saja ditolak tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu. Hal ini dilatarbelakangi pemikiran sang suami bahwa seorang perempuan suku Tionghoa hanya bisa “diandalkan” dalam urusan berbenah rumah saja. Sama halnya dengan budaya masyarakat Etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan dalam masyarakat Etnis Tionghoa ada di bawah dominasi kaum laki-laki atau dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemaknaan kecantikan di kalangan perempuan Suku Tionghoa yaitu faktor internal yang melibatkan faktor fisik rasa ketidakpuasan pada tubuh dan kepribadian. Dalam hubungan suami istri yang dialami informan, ia mengaku selalu merasa kurang dalam fisik sehingga selalu menyalahkan dirinya sendiri.