Mohon tunggu...
Salasiah Ammade
Salasiah Ammade Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Parepare

Penulis newbie yang berusaha terus mengembangkan potensi diri dan berbagi cerita lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Survival Language: Menilik Strategi Berkomunikasi Turis Asing di Korea Selatan

14 September 2023   08:25 Diperbarui: 14 September 2023   08:54 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 5. Kartu Bis untuk naik bis atau kereta (Dok. pribadi)

Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata saya (penulis) Ketika berkunjung ke Korea Selatan selama 8 hari. Kunjungan utama adalah mengikuti konferensi internasional pengajaran bahasa Inggris terbesar di Asia, yang dikenal dengan nama ASIA TEFL. Konferensi ini diadakan tiap tahun di negara Asia yang berbeda dan tahun ini dilaksanakan di Daejeon, Korea Selatan, 17 -- 20 Agustus 2023. Korea Selatan adalah salah satu negara destinasi wisatawan Indonesia berdasarkan data Korea Tourism Orgnization. Salah satu faktor pemicu meningkatnya wisatawan Indonesia adalah K-Pop Wave (gelombang Korea). K-Pop Korea adalah sebuah istilah yang merujuk pada tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara diseluruh dunia dimulai dari tahun 1990-an. K-Pop Wave ini memicu orang-orang di luar negara Korea untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan Korea (Wikipedia).

Saya berangkat bersama rekan dosen dari beberapa universitas yang ada di Sulawesi Selatan dengan jumlah rombongan 14 orang.  Perjalanan kami dimulai tanggal 14 -- 23 Agustus 2023, dan menempuh rute Makassar -- Singapore -- Seoul (Myengdong -- Daejeon -- Dongdaemon) -- Singapore -- Makassar.

Keberangkatan dimulai dari bandara internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, tanggal 14 Agustus, pukul 11.55 WITA, transit Singapura pukul 14.35 wita, dan berangkat ke Seoul pukul 02.25 dini hari. Waktu transit yang lama di Singapura sangat sayang di lewatkan jika hanya berdiam di Changi International Airport, jadi kami memutuskan ke Merlion Park; ikon destinasi turis di negara ini dengan menggunakan aplikasi transportasi digital, Grab. Komunikasi di negara ini bukan masalah besar bagi saya dan teman karena bahasa Inggris adalah bahasa kedua di sini dan posisi kami sebagai dosen bahasa Inggris. Walaupun mereka menggunakan Singlish, bahasa Inggris ala Singapura, yang membutuhkan sedikit konsentrasi telinga ketika mereka berbicara, namun tidak butuh waktu lama bagi saya untuk memahami pembicaraan.

Perjalanan berlanjut ke Seoul dini hari dan tiba di Incheon International Airport, Seoul pagi esok harinya, pukul 08.30 pagi. Semua masih berjalan lancar karena komunikasi masih menggunakan global language, bahasa Inggris. Setelah urusan airport; imigrasi dan bagasi terselesaikan, perjalanan berlanjut ke hotel di daerah/distrik MyeongDong. MyeongDong adalah salah satu destinasi wisata favorit yang terkenal dengan jajanan pasarnya (street food), pusat kosmetik dan operasi plastiknya. Meskipun menjadi tujuan wisata, komunikasi dengan International language; bahasa Inggris sangat minim. 90 % warganya hanya memahami bahasa korea. Ini terlihat awal ketika kami dijemput di bandara oleh mobil travel. Komunikasi dengan supir sangat tidak komunikatif, dan cenderung menjadi komunikasi satu arah. Hanya bahasa isyarat dan beberapa kata penjelas seperti nama hotel, asal negara dan jumlah rombongan yang bisa menjadi penjalin komunikasi.

Tiba di Calistar Hotel,tempat kami akan menginap di daerah/distrik MyeongDong sekitar pukul 11.00 pagi, namun check in belum bisa dilakukan  karena aturan hotelnya check in baru bisa dilakukan  pukul 15.00. Ini hal baru bagi kami karena pengalaman di Indonesia, check in hotel dimulai pukul 12.00. Uniknya, resepsionis hotel tidak berada di tempat hingga waktu check in tiba. Komunikasi dengan Oppa (Panggilan untuk kakak laki-laki) resepsionis melalui chat WhatsApp berbahasa Inggris serta pengawasan melekatnya melalui kamera pengintai (CCTV). Rata-rata resepsionis hotel di negara ini mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang lumayan, sehingga komunikasi masih berjalan dua arah dan cukup interaktif.

Myeong-dong sebagai distrik yang terkenal dengan street Food dan pusat kosmetik, tentu saja menjadi incaran kunjungan turis. Disini, rata-rata penjaga toko bisa berbahasa Inggris standar, contohnya ketika saya membeli beberapa jenis kosmetik, Eonni (panggilan untuk kakak Perempuan di korea) customer service toko kosmetik bisa merespon baik semua pertanyan saya, sehingga saya merasa berkonsultasi dengan dokter kecantikan. Pun ketika memasuki toko souvenir, komunikasi dengan penjual sangat lancar. Usut punya usut ternyata Oppa souvenir ini pernah tinggal di Amerika. Selama di distrik MyeongDong ini, kami sempat mengunjungi Gyongbokgung Palace, Starfield Library, Gangnam Statue, dan pasar tradisional.

Setelah tinggal selama dua hari di Kawasan street food ini, perjalanan kami lanjutkan ke kota Daejeon, yang terkenal dengan kota pendidikan. Daejeon adalah pusat inovasi (Silicon Valley) Korea Selatan dengan berbagai universitas berfokus pada penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di kota ini, banyak universitas top yang terkenal, seperti Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), Chungnam National University (CNU), Korea University of Science and Technology, Hannam University, Hanbat National University (HBNU). Konferensi yang saya ikuti, ASIA TEFL Conference, dipusatkan di Daejeon Convention Center, yang menempuh perjalanan sekitar 30 menit naik taxi dari hotel saya menginap. Selama berada di lokasi konferensi, tidak ada kesulitan berarti karena komunikasi masih menggunakan bahasa Inggris. Namun, Ketika keluar dari area acara, strategi komunikasilah yang di perlukan. Meskipun Daejeon dikenal dengan kota pendidikan, hamper semua masyarakatnya hanya berbahasa Korea. Komunikasi tidak berjalan sesuai pengharapan saya diawal keberangkatan yakni penguasaan bahasa Inggris saya akan membantu saya 'survive' (bertahan hidup) di negara ini.

Survival Language

Cerita awal ditulisan ini adalah pengantar tentang bagaimana mempertahankan komunikasi di negara yang mayoritas penduduknya hanya bisa berbahasa negara/daerahnya. Dalam istilah kebahasaan, ini disebut survival language atau bahasa yang digunakan untuk kelangsungan hidup saat berada di komunitas di luar bahasa yang dikuasai. Survival language terdiri dari kata-kata dan frasa (Kelompok kata) yang di temui di keseharian hidup kita. Ada beberapa jenis survival language ditilik dari konteksnya seperti classroom language untuk siswa dan guru, traveller language untuk turis, working language untuk pekerja, dan jenis lainnya sesuai kebutuhan pengguna bahasa.

Pada saat saya di Seoul, Korea Selatan, ada beberapa situasi dimana saya harus menggunakan beberapa strategi komunikasi untuk mempertahan komunikasi dengan masyarakat Korea. Disinilah survival language saya terasah dan membuat kemampuan analisa saya ikutan terasah demi bertahan dalam situsi yang komunikatif. 

Ada beberapa strategi yang memungkinkan untuk digunakan saat menghadapi situasi asing yang komunitasnya hanya mampu berbahasa lokal seperti yang penulis hadapi saat berada di Korea Selatan. Strategi komunikasi yang penulis gunakan di Seoul demi mempertahankan komunikasi yaitu sign Language (Bahasa Isyarat), Google Translate (voice, text), Gambar/foto, Basic English, Face Expression.

Strategi komunikasi yang saya gunakan ini terjadi dibeberapa situasi yang bisa dilihat sebagai berikut:

Situasi 1.  Hotel

Ada tiga hotel di distrik yang berbeda yang saya tempati selama di Seoul. Di hotel pertama; Calistar Hotel, di MyeongDong, dan hotel ketiga; K-Guest House, DongDaemun, resepsionis mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang lumayan, sehingga sangat membantu turis sepert saya dalam berbagai hal. Namun di hotel kedua; Motel-500, Yuseong Ro, strategi komunikasilah yang terasah. Resepsionis hotel tidak paham bahasa Inggris sama sekali. Saat check in, komunikasi kami terjalin dengan bantuan google translate dan dokumen bukti pemesanan hotel. Karena komunikasi yang payah, saya dan teman di beri kunci kamar yang tidak sesuai dengan gambar kamar pesanan di aplikasi Traveloka.Kamar ini tidak dilengkapi tempat tidur, hanya kasur lipat dan bantal. Tentu kami shock dan sangat kecewa. Kami ke resepsionis lagi dan menyampaikan keberatan kami dalam bahasa Inggris dan direspon dengan bahasa Korea. Tentunya komunikasi kami timpang, dan media komunikasi terkuat kami mengajukan keberatan adalah dengan memperlihatkan gambar pesanan kamar dan ternyata inilah yang menjadi kesepakatan komunikasi. Dengan memperlihatkan gambar kamar pesanan  tersebut, kami akhirnya berpindah kamar sesuai pengharapan. Tinggal selama 3 malam 2 hari disini, komunikasi dengan pihak hotel terjalin dengan google translate menggunakan fitur teks (text) dan catatan suara (voice note). Terlepas dari kendala komunikasi, Masyarakat korea Selatan tergolong ramah dan suka membantu orang lain. Seperti terlihat saat kami di motel ini, Ahjuma (panggilan untuk Wanita korea yang lebih tua) sangat sigap melayani kami walaupun kami berbicara dengan bantuan alat terjemah elektronik.

Situasi 2. Transportasi

Transportasi yang saya gunakan selama di Seoul ada beberapa jenis; taxi, bus umum, kereta api dan bis tour. Untuk menghemat waktu perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lain, mode tranpotasi jenis taxi yang sangat representative. Pemesanan taxi di lakukan melalui aplikasi online uber. Untuk memberi catatan ke supir uber, cukup via text bahasa Indonesia dan akan diterjemahkan otomatis ke Korea bila mengetik tombol terjemahan. Untuk mengakrabkan diri dengan supir taxi online ini, percakapan banyak dilakukan dengan aplikasi terjemahan google via teks atau catatan suara. Terkadang menggunakan bahasa isyarat untuk mempertegas maksud pembicaraan dan untuk mode pembayaran, kami memilih tunai karena saya tidak mempunyai kartu kredit. Namun, biaya transportasi dengan mode taxi ini cukup mahal bagi kami berdua. Sehingga, kamipun mencoba alternatif moda lain yaitu dengan bis umum. Untuk memulai perjalanan, kami harus membeli kartu bis di supermarket terdekat; seperti C U shops dan mengisi kartu tersebut sejumlah kebutuhan pengguna.

Percobaan pertama kami (saya dan teman sekamar) dengan bis umum dimulai ketika hendak balik ke motel dari lokasi konferensi. Kami sudah memeriksa jenis nomor bis yang menuju hotel, bertanya dengan warga sekitar dan mengecek jadwal di halte bis. Semua komunikasi kami lakukan dengan bahasa Inggris diselingi aplikasi terjemahan dan gambar hotel (bahasa gambar). Ada 5 kali perhentian yang kami lewati menuju motel, menurut peta bis yang sudah kami pelajari. Kami turun di bis stop/halte bis yang dekat motel kami menurut google map (peta online). Namun, ternyata ada kesalahan naik bis yang kami lakukan. Kami salah memilih halte bis yang mengakibatkan kami menjauhi lokasi motel kami, dan kamipun baru tahu kalau ternyata motel kami mempunyai 3 cabang di distrik yang berbeda. Seharusnya kami memilih halte bis di seberang jalan untuk mencapai halte bis yang ada di dekat motel kami. Di sini, kami menyaksikan betapa baik dan penolongnya Masyarakat Korea Selatan yang kami temui. Mereka betul-betul sigap membantu kami yang tersesat, hingga ada anak muda yang rela mengejar kami untuk membantu kami menaiki bis yang benar. Saat itu, komunikasi kami sepenuhnya dengan bantuan terjemahan google melalui teks dan catatan suara, peta google, dan bahasa gambar. Namun, kondisi fisik yang lelah dan jiwa yang tertekan membuat kami memutuskan tidak lagi menggunakan bis untuk Kembali dan memilih naik taxi ke motel.

Keesokan harinya, kami masih penasaran dengan sistem transportasi bis yang belum berhasil kami taklukkan. Kami memutuskan ke lokasi konferensi dengan bis lagi, Kami mengecek jadwal bis di halte, memfoto rute bis melalui terjemahan google karena semua nama perhentian bis menggunakan bahasa Korea, kami juga bertanya dengan calon penumpang yang ada disekitar kami dengan media komunikasi google translate dengan teks dan catatan suara, dan langkah terakhir yang saya lakukan adalah mengetik tujuan di google translate dalam bahasa Indonesia yang di terjemahkan ke bahasa Korea dan memperlihatkan hasil terjemahan itu ke supir bis untuk memastikan kami tidak akan tersesat lagi. Saya juga memilih untuk duduk dekat supir dan memastikan tujuan saya di ingat oleh oppa sopir. Kali ini, kami berhasil tiba dilokasi acara dengan sukses.

Di sore hari setelah kegiatan konferensi, kami tertantang lagi untuk pulang ke motel dengan bis umum karena belum berhasil balik ke motel dengan kendaraan umum ini. Kami cek nomor bis di halte bis, memfoto scan nama perhentian bis untuk memastikan kami tidak akan tersesat lagi. Namun ternyata, Ketika turun di perhentian bis dan mecari motel yang kami tuju, kami tiba di motel cabang lain. Motel ini mempunyai 3 cabang di daerah distrik yang berbeda.  Syukurnya pemilik motel ini bisa berbahasa Inggris dan menjelaskan kalau motel kami ada di daerah Yuseong Ro, bukan yang kami datangi sekarang. Dia menyarankan kami naik taxi untuk menuju motel kami.

Strategi Komunikasi

Strategi komunikasi bagi turis asing sangat diperlukan untuk 'survive/bertahan' di lingkungan baru. Menggunakan bahasa negara yang dikunjungi akan sangat membantu kelancaran perjalanan. Namun bila bahasa negara/daerah tersebut tidak dikuasai maka strategi berkomunikasilah yang diperlukan. Ada beberapa strategi komunikasi yang bisa digunakan bila berada di lingkungan bahasa yang baru yang tidak dikuasai seperti pengalaman penulis, antara lain menggunakan fasilitasi google translate baik fitur teks, catatan suara, atau foto scan. Peta Lokasi (Google Map) bisa membantu menemukan lokasi-lokasi unik dan menarik termasuk mencari warung atau restoran terdekat. Penggunaan bahasa isyarat seperti menggunakan gerakan dan gambar/foto bisa menjadi penguat dalam berkomunikasi. Terakhir, menguasai bahasa Inggris dasar untuk turis akan membantu. Berikut dokumentasi strategi komunikasi yang penulis lakukan selama di Korea Selatan.

                                                                                            

Gambar 2. Cara komunikasi dengasn Google Translate (Dok. pribadi)
Gambar 2. Cara komunikasi dengasn Google Translate (Dok. pribadi)

Gambar 3. Tampilan scan foto di Google Translate (Dok. pribadi)
Gambar 3. Tampilan scan foto di Google Translate (Dok. pribadi)

Gambar 4. Tampilan aplikasi Uber untuk  memesan Taxi (Dok. pribadi)
Gambar 4. Tampilan aplikasi Uber untuk  memesan Taxi (Dok. pribadi)

Gambar 5. Kartu Bis untuk naik bis atau kereta (Dok. pribadi)
Gambar 5. Kartu Bis untuk naik bis atau kereta (Dok. pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun