Aku tidak mengerti bagaimana takdir menjadi seperti ini. Waktu itu, perpisahan sudah di depan mata. Sekalipun menyedihkan, hatiku sedikit lega untuk menerima kenyataan. Tapi, segalanya bergeser sangat jauh. Dengan sebuah proses, kegagalan besar bersimbah di hadapanku, saat itu juga.
Katamu, kau mencintaiku. Tapi, disaat aku mulai menyukaimu, kau mudah sekali berpindah hati kembali hanya karna aku tidak pandai berekspresi.
Hujan hari ini turun dengan tepat dan cepatnya. Bahkan semakin deras seiring dengan kata-kata yang terutara. Aku masih ingat bagaimana tarikan napas yang berusaha lega itu. Ditemani dengan satu tegukan yang cukup berat, aku memalingkan tubuh untuk tidak melihat lebih banyak.
Meskipun begitu, rupanya aku tidak pernah luput memperhatikanmu. Tiap-tiap langkahmu, tiap-tiap pilihanmu, dan tiap-tiap kata yang kau ucap di sekelilingku.
Dengan sisa semangat yang pernah kuberi padamu, aku harus teguh menahan gejolakku. Aku tidak tahu dari sisi mana aku harus melihat. Sengaja kudirikan dinding setinggi mungkin untuk menghalaumu. Sementara celah untukku melihatmu, tentu saja hanya aku yang tahu. Lalu saat kau mencoba memasukinya, aku sungguh menutup telinga.
Biadabnya perasaanku ini menghalalkan berbagai cara, baik untuk bersembunyi maupun menyembunyikanmu. Kubiarkan semua orang tahu bahwa tak satu hal pun terjadi padaku. Hal itu, selain menutup luka, rupanya juga membuat luka itu berbunga. Aku menipuku, menipumu, menipu siapa saja.
Bukan tanpa sebab, hanya saja pertaruhan yang kulempar di ujung temu harus kau pertimbangkan. Agar bisa kukatakan satu hal. Aku memilihmu, tapi kau tak kunjung tau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H