Mohon tunggu...
Runive
Runive Mohon Tunggu... Penulis - Evi Nur Humaidah

Apalagi kalau bukan menulis?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis Sekotak Ventilasi

20 Desember 2018   13:53 Diperbarui: 20 Desember 2018   13:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika tidak ada yang sia-sia, mengapa ada kata sia-sia?

Segala hal bisa sia-sia atau disia-siakan. Bagian mana yang tepat? Sia-sia, disia-siakan, atau menyia-nyiakan? Aku manusia, bisa hidup sia-sia, bisa disia-siakan manusia, bisa menyia-nyiakan apa saja.

Siapapun bisa menyanggah atau bahkan menentang apa yang kukatakan. Lalu menilai dengan seenak jidat atau lewat saja tanpa peduli apa-apa. Jangankan orang lain, aku pun bisa menentang habis-habisan pernyataanku.

Apakah manusia hanya sebatas nama? Apakah manusia hanya sebutan? Apakah manusia hanya sebuah pengakuan?

Manusia itu apa? Siapa? Bagaimana?

Siapa yang pantas disebut manusia? Bagaimana rupa manusia yang sebenarnya?

Aku berlindung dibalik selimut tipis, kain batik halus yang dibekalkan Ibu dari rumah. Mendekati penghujung tahun, dinding-dinding kamarku penuh dengan lukisan alami. Rembesan air hujan terjun bebas mengikuti alur dinding. Sementara itu, sekotak ventilasi tinggi di tepi ranjang bagian atas seperti pintu gerimis. Mendaratkan percikan-percikan air di muka. Selalu membuatku bangun disaat hujan deras turun.

Padahal kasur ini sangat nyaman, alunan musik juga masih berputar. Tapi hujan bak alarm, tiada ramah-ramahnya membangunkan. Dia menyewa petir yang menggelegar untuk menyeka suasana yang lelap. Seketika duniaku terasa ramai. Tuan dan nyonya telah datang untuk menghadiri debat akbar yang selalu dimulai pada kisaran waktu tengah malam.

Kehadiran mereka cukup membelalakkan mataku yang merah, tapi mau marah pun tak cukup umur. Mau tak mau, kubiarkan mereka nimbrung tanpa adegan buka pintu. Bebas menyusuri ruang sempit ini. Berkomentar sesuka hati.

Sambil mengelus boneka beruang kutub, seorang wanita berkata "Jika tidak ada yang sia-sia, mengapa ada kata sia-sia?".

Semua orang yang entah berapa jumlahnya menoleh seketika. Kami menatapnya, tapi mata itu entah melihat kemana. Dilemparnya boneka beruang kutub tadi di bawah kaki-kaki kami. Tak berpaling, matanya seakan sedang menatap jendela pada dinding datar.

Aku sedikit tau tentangnya, biar kuperkenalkan. Dia adalah seorang yang pernah hidup di masa lampau, kini datang sebagai ruh yang mati penasaran dengan kehidupannya di masa dulu. Konon katanya, orang-orang melihatnya sebagai wanita yang sukses. Tapi, kurasa hidupnya tidak semegah kata orang-orang.

"Segala hal bisa sia-sia atau disia-siakan. Bagian mana yang tepat? Sia-sia, disia-siakan, atau menyia-nyiakan? Aku manusia, bisa hidup sia-sia, bisa disia-siakan manusia, bisa menyia-nyiakan apa saja."

Kami kembali terfokus pada ucapannya. Dia ini sudah mati, apakah ingin mati untuk yang kedua kali. Kami pun heran dan menyangga dagu masing-masing. Berpikir, tapi tidak menemukan apa-apa.

Seorang tuan yang bijaksana tiba-tiba bersuara di tengah keheningan. Dia mengatakan bahwa dualisme adalah konsep hidup. Semua berpasangan. Ada baik ada buruk, ada basah ada kering, ada kuat ada lemah, ada sia-sia ada berguna. Begitulah kira-kira.

"Siapapun bisa menyanggah atau bahkan menentang apa yang kukatakan. Lalu menilai dengan seenak jidat atau lewat saja tanpa peduli apa-apa. Jangankan orang lain, aku pun bisa menentang habis-habisan pernyataanku."

Kami kembali tertegun dengan jawaban wanita itu. Bahkan tuan bijaksana pun tidak lagi bisa berkata apa-apa.

"Apakah manusia hanya sebatas nama? Apakah manusia hanya sebutan? Apakah manusia hanya sebuah pengakuan?"

"Manusia itu apa? Siapa? Bagaimana?"

"Siapa yang pantas disebut manusia? Bagaimana rupa manusia yang sebenarnya?"

Kami diserbu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Seorang kakek tua tampak terbatuk-batuk, pertanyaan itu serupa dengan rasa gatal di tenggorokan. Kuraih boneka beruang kutub yang tergeletak di bawak kaki-kaki kami. Aku merengkuhnya, membawa kelembutan sang boneka, memeluknya erat dan berkata "Hiduplah kembali denganku". Tapi, segera ia menghilang, bersama dengan seruan-seruan yang tadinya tegak di belakangku menyaksikan.

Dan aku kembali sendiri, dengan muka basah karna gerimis sekotak ventilasi. Menatap langit-langit dan menarik selimut. Memaksa mata terpejam hingga pagi menjelang. Satu yang ingin kukabarkan, mereka memang selalu datang dan pergi dengan meninggalkan jejak pertanyaan menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun