Mohon tunggu...
Evi Nurhidayah
Evi Nurhidayah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Madrasatul ula untuk si kecil mungil

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Kenapa Aku memilih tidak Melakukan Sharenting?

26 Januari 2025   06:22 Diperbarui: 26 Januari 2025   06:25 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era media sosial, membagikan momen kehidupan sehari-hari sudah menjadi bagian dari rutinitas banyak orang, termasuk para orang tua. Salah satu tren yang populer adalah sharenting, yakni praktik berbagi foto, video, atau cerita tentang anak di media sosial. Meski tampak biasa, sharenting memiliki sejumlah risiko yang sering diabaikan. Artikel ini akan membahas alasan-alasan kuat untuk menghindari sharenting, terutama dari sudut pandang agama, privasi, keamanan, dan empati sosial.

Bahaya 'Ain: Perspektif Islami tentang Kehati-hatian

Dalam Islam, konsep 'ain merujuk pada bahaya yang dapat timbul dari pandangan iri atau kagum seseorang yang tidak diiringi dengan doa atau pujian kepada Allah. Ketika orang tua membagikan foto atau cerita anak yang menarik perhatian, tanpa sadar mereka membuka kemungkinan anak menjadi sasaran pandangan tersebut. Misalnya, ketika seseorang memuji kecantikan atau kecerdasan anak tanpa menyebutkan "Masya Allah," hal ini diyakini dapat membawa dampak buruk bagi anak. Rasulullah SAW bahkan mengajarkan umatnya untuk berhati-hati dalam memamerkan hal-hal yang berpotensi memancing iri hati. Dengan menghindari sharenting, orang tua dapat melindungi anak dari risiko bahaya 'ain sekaligus menunjukkan ketaatan pada ajaran agama.

Privasi Anak adalah Hak yang Harus Dijaga

Anak-anak memiliki hak atas privasi mereka, termasuk terhadap apa yang dibagikan oleh orang tua mereka. Ketika orang tua mengunggah foto atau cerita tentang anak tanpa persetujuan, mereka secara tidak langsung merampas hak anak untuk menentukan apa yang ingin diketahui orang lain tentang dirinya. Masalah ini menjadi lebih rumit di era digital, di mana jejak yang ditinggalkan di internet hampir mustahil untuk dihapus sepenuhnya. Apa yang tampak lucu atau menggemaskan saat ini---seperti foto anak saat tantrum atau cerita tentang kebiasaan mereka---bisa menjadi sesuatu yang memalukan atau merugikan di masa depan, misalnya saat anak mulai remaja atau dewasa.

Risiko Keamanan Digital: Bahaya di Balik Layar

Selain masalah privasi, sharenting juga menimbulkan risiko keamanan digital. Foto atau informasi tentang anak yang diunggah ke media sosial dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Contohnya adalah pencurian identitas, di mana data anak digunakan untuk keperluan ilegal, atau eksploitasi gambar oleh predator online. Dalam beberapa kasus, foto anak bahkan digunakan dalam konten tidak senonoh tanpa sepengetahuan orang tua. Risiko ini semakin tinggi jika orang tua secara tidak sengaja memberikan informasi sensitif, seperti nama lengkap anak, tanggal lahir, atau lokasi rumah. Oleh karena itu, menghindari sharenting adalah langkah bijak untuk melindungi anak dari ancaman dunia maya.

Menjaga Perasaan Orang Lain yang Belum Memiliki Anak

Empati sosial juga menjadi alasan penting untuk menghindari sharenting. Tidak semua orang memiliki keberuntungan yang sama dalam memiliki anak. Bagi mereka yang sedang berjuang dengan masalah kesuburan, kehilangan anak, atau belum menikah, melihat konten tentang anak-anak di media sosial bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan. Dengan membatasi atau menghindari sharenting, orang tua dapat menunjukkan rasa empati dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Ini juga merupakan wujud penghormatan terhadap keberagaman pengalaman hidup yang dialami setiap individu.

Menghindari Jejak Digital yang Berlebihan

Apa yang diunggah di internet akan meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus. Jejak ini tidak hanya memengaruhi orang tua, tetapi juga anak di masa depan. Bayangkan seorang anak yang tumbuh dewasa dan ingin melamar pekerjaan, tetapi informasi pribadinya mudah ditemukan di internet, termasuk foto atau cerita memalukan yang pernah dibagikan orang tuanya. Hal ini bisa merugikan reputasi anak dan memengaruhi kehidupan profesionalnya. Dengan tidak melakukan sharenting, orang tua membantu anak menjaga kendali atas narasi hidup mereka sendiri.

Mencegah Eksploitasi atau Komersialisasi Anak

Di era media sosial, ada kecenderungan untuk menjadikan anak sebagai "konten" demi mendapatkan likes, komentar, atau bahkan penghasilan. Dalam beberapa kasus, orang tua yang populer di media sosial menggunakan foto atau video anak untuk tujuan komersial, seperti endorsement atau iklan. Meskipun tampaknya menguntungkan, praktik ini bisa dianggap sebagai bentuk eksploitasi, terutama jika anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan persetujuan. Anak-anak bukanlah alat pemasaran, dan hak mereka untuk tidak dieksploitasi harus dihormati.

Fokus pada Kehidupan Nyata

Media sosial sering kali membuat kita terjebak dalam kebutuhan untuk terus mendokumentasikan momen, sehingga melupakan pentingnya menikmati saat-saat itu secara langsung. Dengan menghindari sharenting, orang tua dapat lebih fokus pada hubungan nyata dengan anak tanpa terganggu oleh keinginan untuk memotret atau merekam setiap momen. Ini juga membantu anak belajar menghargai kehidupan tanpa tekanan untuk tampil sempurna di dunia maya.

Mendorong Kesadaran Anak tentang Privasi dan Keselamatan

Menghindari sharenting juga memberikan kesempatan kepada orang tua untuk mengajarkan anak tentang pentingnya privasi dan keselamatan digital. Anak-anak yang tumbuh tanpa eksposur berlebihan di media sosial cenderung lebih memahami batasan antara kehidupan pribadi dan publik. Mereka belajar bahwa tidak semua aspek kehidupan perlu dibagikan, sehingga menjadi individu yang lebih bijak dalam menggunakan teknologi di masa depan.

Alternatif Positif untuk Mengabadikan Momen

Meskipun tidak membagikan momen anak di media sosial, orang tua tetap bisa mengabadikan kenangan dengan cara yang lebih pribadi dan aman. Misalnya, menyimpan foto dan video dalam album digital yang hanya bisa diakses oleh keluarga dekat atau membuat jurnal pribadi tentang perjalanan tumbuh kembang anak. Dengan cara ini, kenangan tetap terjaga tanpa mengorbankan privasi atau keamanan anak.

Kesimpulan: Bijak dalam Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun