Mempunyai anak yang mandiri merupakan sebuah kebanggaan. Tapi sebagai orang tua terutama ibu tetap harus memantau dengan berkomunikasi , baik tatap muka maupun dengan media komunikasi lainnya .
Saya seorang Ibu berusia 41 tahun Alhamdulillah diamanahi seorang putra , sekarang usianya 20 tahun. Kuliah di University Swasta Kota Tasikmalaya ,mengambil Fakultas Pendidikan Bimbingan dan Konseling. Dalam pandangan saya anak sematang wayang saya adalah anak yang mandiri , Alhamdulillah. Kenapa dipandang mandiri? karena dia mampu mengambil kaputusan sendiri untuk setiap langkahnya .
Sebagai contoh , ketika lulus SMA tahun 2022 tepatnya pada bulan juli dia memutuskan untuk menjadi pengasuh santri disalasatu pesantren di Kota Tasikmalaya, termasuk pesantren besar. Ketika ditanya alasannya kenapa ingin menjadi pengasuh santri yang mungkin akan sedikit menyita waktu atau mungkin konsentrasinya akan terbagi antara menjadi mahasiswa dan menjadi musrif (pengasuh santri). Dia menjawab , ini bisa meringankan beban umi dan abi agar tidak bayar kosan katanya, alasan lainnya ingin tinggal dilingkungan kondusif dan positif sesuai pesan dari para gurunya dulu ketika mondok.
Hari minggu bulan berlalu tidak ada kendala yang terlontar dari ucapananya. Terlihat menikmati dan mampu beradaptasi baik dilingkungan kampus maupun dilingkungan pesantren. Dan tiba pada suatu hari Hp Saya berdering dilihat itu panggilan dari anak tercinta , saya antusias mengangkatnya karena rindu dengan celoteh dan berbagi pengalaman aktivitasnya.
Ketika saya terima panggilannya diHP, saya sapa dengan riang “Assalaamu'alaikum yang…..”,dia menjawab tapi dengan suara berat seperti menahan tangis. Saya tanya “Ada apa sayang , telephon umi ?”. Dia jawab “Ngga cuma kangen aja”. Setelah itu diam ,dan terdengar tangis . Anakku menangis terisak . Saya katakan “ Tidak apa-apa sayang menangislah dulu ,nanti baru cerita”.Hampir 15 menit saya dengarkan isak tangisnya ,dan dalam hening saya pun menangis , hanya tidak diperdengarkan Di hp agar anak saya tidak tahu bahwa saya pun menangis.
Setelah reda tangisnya baru ditanya dan dia pun bercerita ,bahwa aktifitas dikampus padat bukan hanya di kelas tapi juga kegiatan organisasi yang menuntutnya untuk ikut serta . Ketika pulang ke pesantren terkadang ditemukannya suasana berantakan. Saya diam dan konsentrasi mendengarkan tidak ada memotong kalimatnya atau menyanggahnya, saya dengarkan sampai selesai.
Setelah selesai baru saya mengapresiasi dengan kalimat “Terima kasih sudah bercerita ke umi sudah terbuka ke umi, dan menangis ke umi, karena walaupun ujang (panggilan sayang) anak laki-laki ujang berhak untuk menangis ,karena menangis bukan hanya milik anak perempuan ,laki-laki pun boleh menangis”. Kalimat itu saya ungkapkan agar ada kenyamanan terhadap tindakan yang telah dia lakukan.
Kalimat berikutnya adalah kalimat empati "umi juga merasakan apa yang ujang rasakan ,dari awal kan umi sudah memberikan gambaran bahwa kaputusan menetap dipondok itu ada resikonya,tapi Alhamdulillah ujang kuat ,hanya baru kali ini umi mendengar ujang cape."
Selanjutnya baru saya beri pertanyaan ,” Nah kira-kira dari permasalahan yang tadi ujang ceritakan ,apa yang akan ujang lakukan agar ujang tidak terlalu terbebani?”. Dan akhirnya kita buat kesepakatan mengambil waktu untuk merenung dan mengambil kaputusan .Saya katakan,“kalau nanti sudah siap apa yang akan dilakukan , nanti ujang telephon umi lagi ya “.
Ayah ,bunda itu sekelumit peristiwa , yang bagi saya justru bukan sebuah masalah tapi tantangan dalam membimbing anak diusianya sekarang , dengan tetap menjadi pendengar yang baik juga memberikan kesempatan dalam pengambilan kaputusan. Untuk cerita kaputusan yang anak saya ambil serta manfaat dari tindakan yang saya lakukan insyaAlloh saya tulis di diary selanjutnya. Terima kasih semoga bermanfaat.