Ekstremisme, gampangnya, adalah paham yang menganut ideologi secara berlebihan, biasanya disertai kekerasan. Nah, paham kayak gini bahaya, apalagi kalau nyasar ke generasi muda. Pertanyaannya, gimana caranya melindungi mereka?
Ternyata, sekolah punya peran penting, lho! Â Sekolah bukan cuma tempat belajar hitungan atau menghafal nama ibukota negara. Sekolah bisa jadi benteng yang melindungi siswa-siswinya dari paparan paham ekstremisme. Loh, kok bisa?
Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila Sejak Dini
Indonesia, negara kita tercinta, dibangun di atas pondasi Pancasila. Pancasila mengajarkan kita tentang toleransi, keadilan, dan persatuan. Nah, nilai-nilai inilah yang harus ditanamkan kuat-kuat pada generasi muda sejak dini.
Gimana caranya? Gampang! Para guru bisa mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam berbagai mata pelajaran. Misalnya, saat belajar sejarah, guru bisa menceritakan perjuangan para pahlawan yang bersatu padu melawan penjajah, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Di mata pelajaran Bahasa Indonesia, guru bisa mengajak siswa berdiskusi tentang novel yang mengangkat tema keberagaman. Pokoknya, kreasilah! Dengan terus-menerus terpapar nilai-nilai Pancasila, siswa akan terbiasa dengan kehidupan yang toleran dan menghargai perbedaan. Ini jadi pondasi awal yang kuat untuk mencegah mereka terjerumus ke dalam paham ekstremisme.
Diskusi dan berpendapat itu penting! Jangan sampai siswa-siswi kita merasa takut atau terkekang untuk menyampaikan pendapatnya. Sekolah harus menjadi ruang yang aman dan terbuka untuk berdiskusi, termasuk mengenai isu-isu kontroversial.
Dengan diskusi, siswa bisa belajar berpikir kritis, menganalisis informasi, dan melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Ini penting untuk menangkal paparan ideologi sempit yang diusung kelompok ekstremis.
Misalnya, saat membahas peristiwa tertentu di kelas, guru bisa mendorong siswanya untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapatnya dari berbagai sudut pandang. Dengan begini, siswa terlatih untuk berpikir secara kritis dan tidak mudah termakan informasi hoaks yang sering disebarkan kelompok ekstremis.
Jangan lupa juga soal ekspresi diri. Sekolah bisa menyediakan wadah untuk siswa-siswi berkreasi, misalnya lewat kegiatan kesenian, klub debat, atau majalah dinding. Dengan mengekspresikan diri secara positif, siswa akan merasa didengar dan dihargai. Ini penting  untuk mencegah mereka mencari "pengakuan" dari kelompok ekstrem yang sering menjanjikan hal tersebut.
Waspada Terhadap Paparan Media Sosial
Media sosial, dengan segala kemudahannya, juga bisa jadi celah masuknya paham ekstremisme. Kelompok ekstremis sering memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru.
Soal ini, sekolah perlu bekerja sama dengan orang tua untuk memberikan edukasi kepada siswa tentang cara bijak menggunakan media sosial. Siswa harus diajarkan untuk kritis terhadap informasi yang mereka lihat di internet. Jangan asal percaya, apalagi kalau isinya provokatif dan menghasut permusuhan.
Selain itu, sekolah bisa mengadakan workshop atau seminar tentang literasi digital. Di sini, siswa diajarkan cara mengenali ciri-ciri konten ekstremis, cara melaporkan konten tersebut, dan bagaimana cara mencari informasi yang valid dan terpercaya.
Perkuat Peran Guru dan Staf Sekolah
Nah, keberhasilan program pencegahan ekstremisme di sekolah sangat bergantung pada peran para guru dan staf sekolah lainnya. Mereka harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang ekstremisme dan cara mengidentifikasinya.
Pelatihan dan seminar khusus perlu diadakan untuk meningkatkan kapasitas guru dan staf sekolah dalam menghadapi isu ekstremisme. Dengan pengetahuan yang mumpuni, guru bisa mengenali tanda-tanda siswa yang terpapar paham ekstremisme dan memberikan mereka pendampingan yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H