Jumlah penduduk yang terus-menerus mengelami peningkatan setiap tahunnya, yang jika tidak dikendalikan maka akan membawa dampak negatif bagi negara yang bersangkutan. Berdasarkan data sensus, bahwa di Indonesia sendiri jumlah penduduknya mengalami peningkatan sebesar 3,26 juta penduduk rata-rata setiap tahunnya dibandingkan dengan data sensus sebelumnya ditahun 2010.Â
Oleh karenanya pemerintah membuat kebijakan-kebijakan untuk mengontrol jumlah penduduk yang ada di negara ini, salah satunya adalah program Keluarga Berencana (KB). Dalam program ini setiap keluarga dianjurkan untuk memiliki dua anak saja dan tidak lebih. Program serupa juga sempat diterapkan di China dimana setiap keluarga diperlobehkan hanya memiliki satu anak saja.
Kebijakan ini bisa menjadi solusi paling efektif dalam upaya menekan peningkatan jumlah penduduk yang ada, dengan catatan bahwa dilakukan dengan koordinasi dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berperan sebagai penyedia fasilitas dan masyarakat memiliki peran dalam menjalankan program tersebut. Namun, sangat disayangkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengikuti program yang telah dirancang oleh pemerintah ini setelah menikah.
Bagi seorang individu dewasa, menikah merupakan sebuah kewajaran baik dalam sudut pandang masyarakat maupun agama. Bahkan pernikahan bisa dikatakan sebagai sebuah kebutuhan bagi individu secara umum yang dilingkupi dengan berbagai fungsi diantaranya fungsi dari segi afeksi, biologis dan agama.Â
Tujuan dari pernikahan itu sendiri beragam dan bisa jadi berbeda-beda setiap individunya, ada individu yang menikah dengan tujuan memperoleh keturunan biologis, atau individu dengan keyakinan akan konsep pernikahan sebagai penyempurna agama, juga alasan rasa saling cinta atau bahkan untuk menghindari zina. Banyak alasan yang bisa dipergunakan seseorang untuk berani mengambil keputusan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.
Dalam sebuah pernikahan, anak menjadi salah satu hal yang paling banyak menjadi bahan perbincangan, entah itu berkenaan dengan kehadiran anak, jumlah anak yang akan dimiliki, pemenuhan segala kebutuhan serta hak anak, dan sebagainya. Pandangan masyarakat yang sering kita temui adalah pasangan-pasangan yang telah menikah idealnya tentu akan mengharapkan kehadiran anak dalam keluarga kecil mereka, karena anggapannya anak adalah perekat hubungan dari sepasang suami istri, anak adalah sumber kebahagiaan bagi orang tuanya dan juga anak merupakan investasi jangka panjang bagi orang tuanya.Â
Pada pasangan yang tidak kunjung terlihat kehadiran anak di dalamnya, masyarakat akan langsung mempertanyakan apakah masing-masing dari pasangan tersebut normal dan juga sederet pertanyaan lainnya. Padahal ketidakhadiran anak dalam sebuah keluarga bisa jadi merupakan sebuah pilihan yang diambil oleh pasangan tersebut dalam menjalani kehidupan mereka. Belakangan ini ada istilah yang disebut dengan childfree marriage atau yang dapat kita pahami sebagai pasangan menikah yang memutuskan untuk tidak memiliki anak dalam kehidupan pernikahannya itu.
Konsep ini tentu saja menjadi pemikiran yang tabu dalam masyarakat konservatif yang memiliki pemikiran bahwa tujuan utama dari pernikahan adalah meneruskan garis keturunan. Pemikiran childfree ini tentu sangat kontras dengan konsep yang telah lama didengar dan dipegang oleh masyarakat kebanyakan mengenai banyak anak banyak rezeki.Â
Konsep childfree ini dianggap aneh karena seperti menyalahi kebiasaan dan aturan agama. Dimana anak adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia yang seharusnya disyukuri, menolak kehadirannya berarti menolak anugerah yang diberikan oleh Tuhan, begitulah kira-kira anggapan yang dimiliki masyarakat konservatif terhadap pasangan yang memustuskan untuk tidak memiliki anak.
Bagi individu-individu yang memutuskan untuk childfree, salah satu anggapan yang mereka miliki bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan fasilitas kehidupan dan pendidikan yang layak, sementara biaya hidup dan biaya pendidikan semakin tinggi setiap tahunnya. Jadi sebelum memiliki anak pertimbangan finansial menjadi suatu hal yang sangat penting, keadaan ekonomi yang stabil tentu tidak akan menjadi masalah dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut, namun jika dalam prosesnya keadaan ekonomi yang masih "gali lubang tutup lubang" akan menjadi sangat riskan jika memiliki anak.Â
Dalam kondisi keluarga yang seperti itu kebutuhan anak memiliki resiko yang tinggi untuk tidak dapat terpenuhi dengan baik. Konsep "banyak anak banyak rezeki" menjadi kritik bagi argumen seperti itu, dalam kepercayaan yang dianut oleh masyarakat konservatif mengatakan bahwa setiap anak yang dihadirkan ke dalam dunia ini akan membawa rezekinya masing-masing.Â