Mohon tunggu...
Evi Ghozaly
Evi Ghozaly Mohon Tunggu... Konsultan - | Penulis | Praktisi pendidikan | Konsultan pendidikan |

Tebarkan cinta pada sesama, melalui pendidikan atau dengan jalan apapun yang kita bisa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Optimis

28 Oktober 2019   07:13 Diperbarui: 28 Oktober 2019   07:15 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini, selain terus mengajak untuk mendidik dengan cinta, ada pesan tambahan yang harus saya selipkan saat seminar atau pelatihan: optimis dengan hadirnya mentri baru, Mas Nadiem. Ya, sebagian besar guru, pengawas, dosen maupun praktisi pendidikan lainnya, tentu terkaget saat mendengar nama Mendikbuddikti diumumkan presiden.

Sangat muda, bukan orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, lama bersekolah di luar negri, bagaimana mungkin paham hawer-hawernya pendidikan di Indonesia? 

Belum lagi jika ingat amboinya urusan kurikulum, ujian nasional, pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidik maupun tenaga kependidikannya, wajar jika berujung tanya, "Apakah Mas Nadiem bisa mengatasinya?"

::

"Nanti para guru yang tidak mengerti teknologi akan diberhentikan ya, Bu? Bagaimana dengan kami yang hanya bisa menyalakan laptop, lalu tertatih nunul nunul hurufnya dan bingung saat mau mematikannya?", seorang guru bertanya.

"Coba ditiup atau dikrukupi dengan keset basah saja Pak, laptop akan mati sendiri", celetuk guru lain.

"Tak apa kami tidak naik pangkat karena tidak bisa melakukan penelitian PTK, Bu. Tapi tolong ijinkan kami tetap menjadi guru karena mendidik adalah hidup kami, anak-anak adalah jiwa kami".

"Bu, untuk sampai sekolah kami harus menyeberang jembatan lubang-lubang dan melewati bukit kecil. Sering kami harus dua tiga kali balik untuk membonceng anak-anak yang menunggu kami di perempatan jalan, sementara untuk sampai perempatan jalan itu mereka butuh waktu sejam jalan kaki. Tak ada komputer, listrikpun lebih sering mati. Bagaimana nasib kami jika nanti harus dipaksa ini itu oleh pemerintah?"

Sekian banyak kalimat ketakutan disampaikan para guru pelosok saat saya turun. Guru-guru yang bertahun tulus mengajar meski gajinya sangat kecil. Guru-guru yang tetap berangkat ke sekolah membersamai anak-anak belajar dengan sepatu mangap dan keringat bercucuran karena harus ngarit nyari rumput untuk pakan satu dua kambingnya. Guru-guru sepuh yang tak tahu cara membuat RPP bagus tapi doanya ampuh. 

Guru-guru yang belum bisa berinovasi saat menerapkan strategi pembelajaran tapi senyum dan mata teduhnya mampu membuat anak-anak merasa damai. Bagaimana perasaan panjenengan jika melihat langsung kondisi mereka?

Maka berhentilah menakut-nakuti, sahabat.   Analisa ndakik panjenengan tentang dunia pendidikan yang terancam hancur karena mas mentri ini, lebih dahsyat akibatnya dibanding dengan ancaman Indonesia akan bubar tahun 2030. Jika guru resah dan terus gelisah, bagaimana bisa mengajar dengan tenang?

Sudahlah. Tanpa ditakut-takutipun kami sudah sering khawatir memikirkan masa depan anak-anak kami yang telah banyak terpapar pornografi dan bullying. Tanpa ditakut-takutipun kami sudah sering bingung mencari cara yang lebih jitu agar akhlak anak-anak lebih santun dan baik.

::

Kami percaya, para pemimpin disana paham bagaimana mengatur dan menjaga bangsa ini. Kami percaya, presiden telah memilih mentri yang terbaik. Kami meyakini ngendikan Gus Mus guru kyai kami bahwa sebagaimana yang mengangkat Pak Jokowi sebagai presiden kita, pada hakikatnya yang mengangkat para mentri itu adalah Tuhan yang Maha Berkehendak dan Maha Kuasa.

"Apa yang telah ditetapkan Allah atas dirimu pasti terjadi. Jika engkau bersabar, engkau beroleh ampunan dan pahala karenanya".

- Sayyidina Ali bin Abi Thalib -

::

Yang terpenting sekarang, kita harus optimis. Berikan masukan dan saran terbaik agar pendidikan di Indonesia makin maju. Selalu lantunkan doa terindah, agar Indonesia tetap baik-baik saja.

Percayalah, secanggih apapun teknologi, tak akan mampu menggantikan peran guru secara keseluruhan. Anak-anak masih sangat membutuhkan nasehat adem langsung dari lisan para guru, bukan hanya dari voice mail. Anak-anak masih membutuhkan dioprak-oprak langsung dengan tatapan mata teduh guru, bukan semata reminder dari aplikasi yang kita unduh. 

Anak-anak masih membutuhkan sentuhan lembut guru saat menghadapi soal-soal meski telah ada mbah gugel. Anak-anak masih memerlukan tepukan tangan kita, masih membutuhkan doa lirih kita tiap malam atau sebelum memulai kelas, masih terus menunggu pelukan kita.

Maka sungguh, kami terus butuh disemangati.

Optimislah saat segala urusan terasa sulit bagimu, karena Allah Azza wa Jalla telah bersumpah dua kali "Sesungguhnya dalam sebuah kesulitan bersama kemudahan.  Sesungguhnya dalam sebuah kesulitan bersama kemudahan".

Bismillah. Salam senyum semangat penuh cinta untuk seluruh guru di Indonesia dari saya ya. Selamat menumbuhsuburkan rasa optimis dan merawatnya terus, terus.

- Blitar, 28 Oktober 2019 -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun