Mohon tunggu...
Evi Ghozaly
Evi Ghozaly Mohon Tunggu... Konsultan - | Penulis | Praktisi pendidikan | Konsultan pendidikan |

Tebarkan cinta pada sesama, melalui pendidikan atau dengan jalan apapun yang kita bisa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka Kangen Aku

10 Juli 2019   22:43 Diperbarui: 10 Juli 2019   23:16 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua jam perjalanan. Aku disambut empat anak spesial beserta orang tuanya. Sella cantik yang tak jelas bicara karena tidak memiliki langit-langit mulut dan lidahnya sangat pendek. Rico dan Zaki, dua jagoan yang (kata dokter tumbuh kembang) autis...dan Izul, si ganteng yang tuna rungu dan sedang mengalami trauma karena bullying.


Menjelang dhuhur, konsultasi dan terapi selesai. Aku bersiap pulang: berharap bisa segera bertemu lagi kakak, guru dan sahabat-sahabat lama yang sedang mengikuti seminar internasional di Bandar Lampung selama empat hari. Kangenku pada mereka belum habis.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara gedhubrakan di luar...lalu empat anak spesial lain memaksa masuk ke kantor. Rahman yang hobi mengacungkan jari metal, down syndrom, 8 tahun, berlari menabrakku, lalu menggelendot manja. Sidiq yang biasanya ramah, malangkerik dan melotot padaku. Juang yang tuna grahita, 16 tahun kelas 5 SD: merentangkan dua tangannya, menghalangi langkahku.

Dengan galak dia membentak, "Umy jahat. Tidak datang. Kangen", terbata dia teriak. Aku masih tersenyum. Tiga bulan telah membuat mereka kangen padaku. Sementara aku sudah 25 tahun tak bertemu beberapa sahabat yang menungguku. Aku harus segera pulang.

Aku meminta jalan. Juang dan Sidiq masih menghalangiku. Aku tetap melangkah. Tiba-tiba Sidiq memukul bahu kiriku. Belum usai kagetku, Juang menarik tangan kananku lalu dengan cepat menggigitku. Aku menjerit. Cepat kutarik tanganku. Rian, yang sejak tadi hanya berdiri diam, tangkas membantu memegang Sidiq agar tak lagi memukulku Aku terduduk. Menahan rasa sakit di tangan, menahan amarah di dada.

Mereka mengikutiku. Kami duduk berhadapan, berdekatan. Aku menarik nafas panjang, berkali-kali. Menenangkan gemuruh di kepala, juga di hati. Hening.

"Dengarkan Umy, Nak. Umy tidak datang kesini karena banyak tugas. Umy tidak jahat. Umy sayang kalian. Tapi kalau kalian pukul Umy, kalian gigit Umy...ini sakit. Kalau Umy sakit, Umy nggak bisa kesini lagi". Makin hening. Aku tak tahu apakah mereka paham yang kusampaikan.

"Juang...Sidiq...lihat mata Umy, Nak. Pukul, sakit. Gigit, sakit. Umy, nangis. Kita bukan teman", aku bicara perkata dengan menepuk tangan, mempraktekkan menggigit dan berpura-pura mengusap air mata.

Spontan Juang teriak, "Maap...maap. Umy baik, Juang baik. Kangen. Kangen".

Aku mengangguk...membuka kedua telapak tanganku. Berebut mereka meletakkan tangannya, bertumpuk...kami lalu saling menggenggam, sebisanya. Saling menguatkan. Dalam diam.

Ya...mereka hanya kangen aku. Mereka hanya bisa menahanku dengan cara itu. Bukan bermaksud menyakiti. Mereka tidak bisa tilpun atau mengirimkan foto sebagaimana yang aku lakukan jika aku kangen keluarga dan sahabat. Mereka juga tidak mungkin membuat status baper di fesbuk, wadul segala macam di WA seperti aku. Jadi ya wislah, terima aja dipukul-pukul dikit Vie. Asal nggak digigit aja. Sakit tau' :P

- Lampung Tengah, 08.11.2016 -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun