Mohon tunggu...
Evi Ghozaly
Evi Ghozaly Mohon Tunggu... Konsultan - | Penulis | Praktisi pendidikan | Konsultan pendidikan |

Tebarkan cinta pada sesama, melalui pendidikan atau dengan jalan apapun yang kita bisa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mencetak Guru yang Baik, Tugas Siapa?

9 Juli 2019   22:44 Diperbarui: 9 Juli 2019   23:31 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari beberapa tahun lalu. Saya mendapat undangan dari Direktur Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. Saat diskusi pemantik, saya menyampaikan sambatan tentang sulitnya mencari lulusan Perguruan Tinggi Keislaman Negri yang kualitasnya sesuai standar sebagian sekolah pengguna.

Bukannya tak ada yang bagus. Ada, banyak. Saya juga alumnus UIN lho. Sangat banyak yang bagus, kecuali saya...ups
Masalahnya? SD, SMP, SMA se- Indonesia dan yang sederajat sudah berkali ganti kurikulum, tapi ada beberapa hal yang belum nyambung dengan apa yang dipelajari di perguruan tinggi.

Pembelajaran di lapangan sudah menyesuaikan dengan era 4.0, eh masih ada calon guru yang gagap teknologi. Bahkan kebingungan saat diminta membuat penilaian dengan excel. Rata-rata sekolah kami mengajarkan tahfidz tahsin, tapi ada saja lulusan PAI yang saat dites membaca Al Quran tidak bisa membedakan idghom bighunnah dengan bila ghunnah. Calon guru matematika, ditanya tentang Kelipatan Persekutuan Terkecil malah balik bertanya, "Apa manfaatnya mengajarkan KPK pada murid kita?".

Begitu diminta micro teaching, usai salam dan mengajak berdoa, guru bertanya siapa murid yang tidak masuk hari itu, lalu memanggil nama anak satu persatu dan menyentrang di buku daftar hadir. Kalau muridnya 24 sekelas, berapa menit waktu terbuang?

Sementara, satu jam pelajaran untuk SMA saja, hanya 45 menit. Nggak boleh ya ngabsen? Boleh, tapi kan ada cara lain yang lebih menarik. Ganti-ganti cara asyik kan ya? Agar semua anak merasa istimewa di hadapan guru, tapi sekaligus membuat kelas hidup.

Masih ada juga yang menjelaskan konsep dengan metode ceramah. Padahal kemampuan rata-rata anak kita konsentrasi duduk diam, maksimal 10 menit. Jika satu guru mengajar 4 kelas paralel dengan pelajaran yang sama dalam satu hari itu,  berapa banyak energi yang harus dikeluarkan untuk ceramah. Bagaimana jika dalam kelas ada anak yang sangat aktif dan gaya belajarnya kinestetik? Atau ada anak yang cerdas bahasa dan kebutuhan bicaranya banyak?

Bisa jadi guru akan kesal melihat muridnya pating slengkrah, ada yang ngobrol kanan kiri dan ada yang bolak balik bergerak tak tentu arah. Bukankah kekesalan guru pada murid tidak hanya menghalangi proses pemahaman pada pelajaran tapi juga bisa mengurangi keberkahan ilmu?

Pada rentang 2006 hingga 2010, saya membutuhkan 100 guru, untuk memenuhi kebutuhan semua sekolah yang saya konsultani. Setiap tahun, minimal seratus guru. Bayangkan betapa pusingnya ketika sekian banyak calon guru telah melewati proses seleksi ketat berlapis, begitu sampai pada tes membuat perangkat pembelajaran dan praktik mengajar, rata-rata berguguran dengan sukses.

Saya pernah frustrasi lho, apa standar yang saya buat terlalu tinggi?

Enggak juga ah. Bukankah calon guru pasti sudah pernah mendapat mata kuliah terkait perangkat pembelajaran dan sudah pernah mengikuti Program Pengalaman Lapangan, ngajar di sekolah yang dipilih kampus? Lagipula tuntutan masyarakat pada sekolah swasta begitu kan ya. Kadang nih, guru salah menjelaskan konsep dikit aja, orang tua murid langsung protes keras. Kalau bicara baik-baik atau menulis di communication book masih mending, tapi jika tiba-tiba menulis status di medsos, "Sekolah mahal, gurunya nggak becus. Kemana aja kepala sekolah dan konsultannya?"

Huaaa....mengerikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun