Sudah lama saya ingin menulis tentang sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru sekolah negri yang mulai diterapkan menyeluruh di Indonesia, tapi selalu saja urung. Pernah menulis dari sisi saya sebagai orang tua siswa, tapi kok ya yang saya sampaikan berlawanan dengan kode etik profesi saya sebagai konsultan pendidikan. Pernah sangat ingin protes pada pemerintah, tapi selama ini lho saya keliling sekolah di pelosok ya salah satu sponsornya pemerintah daerah atau pusat. Kok ya jadi seperti meludah di gelas tempat air minum saya sendiri.
Disamping itu, saya juga harus menahan diri untuk tidak melukai para ibu yang sedang tegang mencari sekolah terbaik untuk putra putrinya. Sistem zonasi ini memang membuat sebagian orang tua kalang kabut.Â
Nama anak yang awalnya ada di sekolah pilihan, sekian jam kemudian tiba-tiba menghilang. Betapa stresnya jika saat masih hawer-hawer, lalu ibu membaca tulisan saya yang terkesan menasehati dan menyalahkan karena tak pandainya saya memilih kalimat.
Lagipula segala analisa keren sudah bertebaran. Saya yang hanya jago copas ini tak akan bisa menulis ndakik. Maka saya memilih untuk mendongeng saja ya. Tentang diri saya, tentang beberapa anak dan ibu yang telah menemui saya untuk konsultasi, tentang bermacam sekolah juga guru-guru di pelosok terkait kebijakan sistem zonasi ini.
::
Ehm ya. Setelah berhari-hari membaca puluhan status tentang zonasi yang tiap hari mewarnai timeline fesbuk, saya merasa makin kaya. Alhamdulillah. Terima kasih, temans. Ada beragam paradigma, bermacam wacana, juga banyak masukan, cerita nostalgia dan keluhan.
Tapi yang paling menggelitik saya adalah status yang menyampaikan dugaan bahwa penerapan sistem zonasi ini "titipan" dari lembaga pemilik sekolah-sekolah (bukan madrasah) swasta agar kelolaan mereka laku. Duh, saya sedih membacanya. Sungguh.
Nuwunsewu, begini ya. Telah sekian tahun saya ngiter keliling baik untuk sekolah dibawah Kemenag maupun yang terbanyak dalam lingkup Kemendikbud. Mulai SD, SMP dan SMA di kota hingga di pinggir gunung, sebrang laut atau tepi hutan. Kesimpulan saya bahwa sungguh, pelayanan pendidikan belum merata. Anak-anak cerdas di pelosok sangat banyak, tapi sumber belajar dan fasilitas inti tak memadai. Guru berpotensi di daerah juga ada, tapi akses ilmu dan pelatihan tak ada.
Sekian tahun masalah ini tak kunjung teratasi. Printilan yang menyertai ruwet poll. Tata kota, jarak dan tempat tinggal, jalan dan angkutan umum serta banyak hal terkait lainnya makin bikin mumet.
Lha gimana. Mendahulukan melatih para guru tentang kurikulum baru misalnya, saya rencanakan muter propinsi Lampung yang terdiri 14 kabupaten kota itu. Eh baru terlaksana 8 kabupaten, sudah ganti kurikulum. Sebagian kecil guru pelosok baru mudheng kurikulum baru dengan tertatih, tak lama kemudian sudah harus bingung lagi karena adanya kurikulum baru lagi. Mulek poll. Mendatangkan bantuan komputer ke sekolah nun jauh  di mato, begitu sampai ternyata listriknya Senin Kamis. Memberikan beasiswa pada murid berprestasi dari ujung, ternyata orang tua tidak rela karena tak ada yang membantu ngarit.
Atau ada sekolah negri bagus di kota, tapi anak miskin tak bisa masuk meski rumahnya sangat dekat tinggal koprol sampai. Dan hadebreh lainnya.