Di negara kita (Indonesia), harga kebutuhan sehari hari meningkat drastis selama bulan Ramadhan, dan bahkan menjelang perayaan agama lainnya seperti Christmas dan tahun baru, termasuk juga imlek. Tiket pesawat bisa naik dua kali lipat, terutama dari Jawa untuk tujuan wilayah timur Indonesia.
Alasan kenaikan klise dan cenderung kriminal: supply tak mencukupi, sementara demand (permintaan) meningkat tajam; tersangkut di pelabuhan (distribusi); penimbunan dan sudah barang tentu spekulasi.
Anehnya, dari tahun ke tahun, pejabat pusat sampai pemda mengatasi fluktuasi harga dengan cara operasi pasar. Turun ke pasar pasar mengecek harga. Dapat diduga, baik pejabat dan pedagang terlihat cengengesan di depan TV dan media, seolah olah harga tetap, tak merangkak naik. Sandiwara basi, dan akhir cerita tak nyaman untuk ditebak.
Setelah operasi pasar, diikuti himbauan-himbauan dari pejabat agar barang kebutuhan Ramadhan dan hari raya tidak naik. Seperti tong kosong, tak dipedulikan oleh pedagang bunyinya, dan memekakkan telinga rakyat biasa mendengarkannya.
Kenapa tak dicoba langkah yang lebih kongkrit ? Misalnya dengan membebaskan pajak penjualan selama bulan Ramadhan, dan perayaan agama lain. Insentif produksi diberikan, terutama untuk daerah daerah yang paling rentan ketersediaan kebutuhan bahan pokok di bulan Ramadhan, sehingga sisi supply bisa diatasi (tanpa persoalan distribusi).
Rakyat menunggu bukti, bukan himbauan-himbauan pemerintah agar barang tak naik selama bulan Ramadhan. Tak salah, kalau rakyat biasa juga dapat “pengampunan” pajak (penjualan) seperti para konglomerat. Hanya di bulan puasa, dan hanya untuk bahan pokok saja. Semoga !