Mohon tunggu...
Evi Erlinda
Evi Erlinda Mohon Tunggu... Bio-Human Medicine -

Menetap di Baton Rouge, USA.\r\nBekerja di Our Lady of the Lake Regional Medical Center. Hospital.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Di Negara Ini, Dokter Berani “Memboikot” Harga Obat Kanker yang “Mencekik” Pasien

19 April 2016   04:36 Diperbarui: 19 April 2016   08:49 2041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jenis jenis obat kanker (sumber: koran New York, 2013)"][/caption]Bukan rahasia lagi, harga obat kanker luar biasa mahalnya. Perawatan kanker kalau dilakukan intensif bisa menelan biaya milyaran rupiah pertahun. Ongkos yang mahal ini sudah “merisaukan” para dokter. Sehingga, ketika mengetahui bahwa jenis obat baru untuk kanker “colon” (usus) meningkat dua kali lipat, para dokterpun segera memboikotnya !

Padahal obat tersebut sudah disetujui pejabat berwenang dan sudah diperintahkan oleh rumah sakit tempat para dokter bekerja untuk segera menggunakannya. Dan dokter “tabu” untuk mengetahui harga obat dan biaya berobat. Itu urusan manajemen rumah sakit, urusan dokter adalah menyembuhkan pasien, apapun obatnya dan berapapun biayanya.

Boikot ini tak hanya berlangsung di sebuah rumah sakit, tapi merebak di negara bagian New York, kemudian ke seluruh Amerika Serikat. Loh, kok berani ? Bagaimana jalan ceritanya? 

Biaya Obat Kanker

Anda tahu berapa biaya untuk “satu jenis obat” yang dikeluarkan pasien kanker? Ratusan juta. Beberapa contoh obat dengan biayanya adalah sebagai berikut:

1) Yervoy. Pasien yang menggunakan obat ini merogoh kocek $39,000 (Rp 507 juta) per-bulan.

2) Erbitux. Harganya sebesar $8,400 (Rp 109 juta) untuk konsumsi sebulan.

3) Gleevec. $92,000 (Rp 1,2 Milyar) untuk dipakai setahun.

4) Tasigna. $115,000 (Rp 1,5 Milyar) untuk konsumsi setahun.

5) Sprycel. Biaya yang harus dikeluarkan adalah $123,000 (Rp 1,6 Milyar) setahun

6) Provenge. Ongkos untuk sekali treatment $93,000 (Rp 1,2 Milyar).

Kembali ke pokok pertanyaan bagaimana dokter sampai berani melawan “atasan” untuk memboikot obat mahal ? 

Selama ini, dokter di Amerika selalu memakai obat yang namanya Avastin untuk mengobati kanker usus. Tanpa diberi obat, 93% (hampir semua) pasien akan meninggal dunia setelah 5 tahun (lihat grafik di bawah).

[caption caption="Grafik. Survival rate kanker usus tanpa diobati (sumber: Cancer Treatment Center of America, 2015)."]

[/caption]Di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, dokter “disuruh” untuk memakai obat baru yang namanya  Zaltrap. Awalnya biasa biasa saja. Setelah setahun, seorang dokter yang bernama Leonard Saltz mengamati bahwa efektifitas obat baru (Zaltrap) sama saja dengan obat lama (Avastin). 

Kemudian Dr. Leonard mencari tahu berapa harga obat lama dan obat baru. Mengejutkan, ternyata harga obat baru dua kali lebih mahal dari obat lama.

Biaya sebulan untuk pasien yang memakai obat baru  (Zaltrap) sebesar $11.000 (Rp 143 juta), sedangkan obat lama tak sampai separuhnya hanya sebesar  $5.000 (Rp 65 juta) sebulan. 

Tambah terkejut setelah mengetahui total biaya berobat (termasuk beberapa jenis obat tambahan, pemakaian fasilitas rumah sakit, administrasi dan lain lain) yang harus ditanggung pasien sebesar AS$ 0,5 juta (Rp 6,5 Milyar) setahun.

Mengetahui hal ini semua, Dr. Leonard Saltz mengirim e-mail ke semua tim medis di Memorial Sloan-Kettering Cancer Center bahwa dia “memboikot” untuk menggunakan obat baru (Zaltrap), karena ternyata khasiatnya sama saja dengan obat lama, tapi harganya “mencekik” pasien. Di luar dugaan, e-mail  Dr. Leonard mendapat tanggapan positif dari rekan rekan tim medis.

Berita boikot ini kemudian didengar oleh dokter dokter New York, dan segera memberikan dukungan. Saat ini seluruh Amerika Serikat sudah memboikot penggunaan obat Zaltrap. Obat baru hanya akan digunakan jika harganya lebih murah dan lebih ampuh khasiatnya.

Kasus Di Rumah Sakit Saya Bekerja

 [caption caption="Salah satu ruangan pasien di rumah sakit tempat saya bekerja (sumber: dokpri)"]

[/caption]Setiap tahun, kami menyelenggarakan baksos (bakti sosial) khusus untuk men-screening kanker prostate. Screening-nya gratis untuk siapa saja. Untuk yang miskin ongkos berobatnya juga gratis, sedangkan yang kaya 80% ditanggung oleh asuransi kesehatan mereka, sisanya (20%) digratiskan. Dari mana biaya untuk menggratiskan itu?

Pertama, tentu saja dari pemerintah (pusat dan daerah), kedua dari sumbangan perusahaan perusahaan swasta (di Louisiana banyak perusahaan minyak dan petro kimia), dan ketiga dari “bapak angkat” istilahnya. 

Program bapak angkat ini cukup unik, karena yang jadi “bapak angkat” bisa saja muda belia, sedangkan “anak angkat” yang kena kanker sudah tua (untuk kanker prostate biasanya usia di atas 50 tahun).

Semoga bermanfaat !   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun