Rebah menatap lembayung senja tadi, nampak bayang pohon kurma begitu rimbun. Sinar merah keunguan menyeruak bersamaan dengan manuver terbang burung-burung  masuk ke sarang-sarang mereka di sana...suara kecil tak henti berceloteh...
Setiap suara pastinya bermakna. Entah keriangan bertemu sosok yang dikenal atau karena perutnya terisi kenyang. Atau mungkin celotehan bermakna cerita kebahagiaan karena sepanjang hari kehidupan mereka diramaikan oleh cinta sesamanya. Kehidupan sederhana yang tak nampak oleh mata manusia yang selalu mencari ke atas..Â
Ya, mencari dan melihat ke atas tanpa henti tanpa lelah. Konon kata Abraham Maslow dulu, manusia akan selamanya bergerak naik ke atas mencari tempat yang nyaman untuk mereka berdiam..namun tak pernah mendapatkannya. Saat sampai di titian tertinggipun setelah tercapai eksistensi tertingginya, manusia akan mengalami kehampaan.Â
Ketika pikiran sudah penuh atau tumpul dan tubuhnya mulai kelelahan dalam pencarian entah apa, tak sedikit yang mengakhiri hidup karena frustasi. Mereka sudah merangkak naik ke puncak piramida namun hati tak kunjung merasa tenang. Sebenarnya apakah yang dicari, wahai manusia?Â
Pernahkah mendengar tentang manusia, mereka adalah spritual being yang sedang belajar menjadi human being? Bila memang demikian, manusia adalah spiritual being maka apa yang membuat mereka frustasi? Apa yang membuat hati mereka tak kunjung tenang? Apa yang sesungguhnya mereka cari?Â
Dan kemana mereka harus bertanya tentangnya? Entah berapa abad sudah para ilmuwan memelajari dan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan itu..namun di setiap zaman selalu ada segerombolan manusia yang tak mendapatkan jawaban. Dan kemudian mereka melakukan hal-hal absurd yang merusak tidak hanya diri sendiri tapi juga merusak keluarga terdekatnya, merusak orang-orang terkasih yang menyayanginya. Seolah, dari zaman ke zaman manusia semakin bodoh.Â
Oke, saya salah.Â
So, apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Mungkin jawaban-jawabannya mulai muncul di masa pandemi ini. Saat keluarga dirumahkan dengan paksa, saat pekerjaan dihentikan dengan paksa, saat perusahaan-perusahaan ditutup dengan paksa, saat kehidupan seolah dihentikan dengan paksa, manusia kembali ke rumah. Mereka mulai memandangi wajah-wajah yang tidak asing bagi mereka, namun banyak perilaku yang tak dikenali.Â
Setelah 30hari terkurung dalam dinding yang sama, mereka mulai berinteraksi seperti layaknya keluarga. Dulunya bicara tapi tak berkomunikasi. Dulunya melihat tapi tak mengenal. Dulunya bertanya tapi tak menyapa. Dulunya keluarga sekenanya dan sesempatnya, dalam masa pandemi karena terkurung, menjadi keluarga sebenarnya.Â
Ada komunikasi dua arah. Ada tatapan yang mencoba mengenali sosok tersayang. Ada interaksi dalam sapaan. Manusia di setiap rumah mulai memanusiakan dirinya sediri dan memanusiakan keluarganya sendiri. Demikiankah? Sebaiknya demikian. Bila tidak, musnahlah manusia. Tidak hanya oleh pandemi, namun oleh perilaku yang sombong dan itu tadi, bodoh.
Bahkan burungpun tahu kapan waktunya pulang dan bersenang-senang dengan keluarganya. Sementara manusia merasa merekalah pemilik alam. Siang menjadi malam mereka bergerak, dan malam menjadi siang mereka beristirahat. Mungkin tidak pernah tahu juga di dalam Alquran ada ayat yang menerangkan hal yang sepatutnya mereka lakukan di siang hari, dan apa yang sepatutnya mereka lakukan di malam hari.Â