Politik identitas merupakan sebuah isu baru di telinga masyarakt Indonesia. Meskipun demikian isu tersebut telah ada sejak dahulu, tetapi akibat yang dirasakan baru saja terasa beberapa waktu belakangan. Terlebih alasan yang digunakan adalah untuk mencari massa atau dukungan. Mereka memanfaatkan kesamaan agama, suku, ras, serta etnik demi mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Dilihat dari peristiwa tahun 2019 dimana pilpres pada saat itu sangat gencar sekali dengan peristiwa politik identitas. Pada saat itu juga hanya ada dua calon presiden dan wakil presiden, dan antar kedua pendukung saling serang satu sama lain dengan menyebarkan berita hoax, menjatuhkan satu dengan yang lain, saling tuduh, dan lain sebagainya. Ini tentu membahayakan karena efeknya dapat menggiring opini publik.
Menurut Castells (2010) politik identitas merupakan  sebuah kontribusi seseorang terhadap kehidupan sosial yang cenderung ditentukan oleh budaya dan psikologi seseorang. Dimana identitas dapat terbentuk disebabkan oleh interaksi antara individu yang kemudian menghasilkan efek sebuah arti dan tujuan tertentu. Awal mula identitas juga disebabkan oleh proses komunikasi internal serta sebuah interaksi sosial.
Politik identitas di Indonesia mulai gencar pada peristiwa pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, dimana politik identitas yang dominan saat itu adalah politik identitas berbasis agama. Kala itu, terjadinya politik identitas dikhawatirkan berdampak pada mobilisasi agama dalam kontroversi politik terhadap disintegrasi agama. Pada saat itu pula banyak tersebar berita hoax yang berbau kebencian dan merujuk pada SARA oleh masyarakat yang ditujukan kepada salah satu calon, dan mereka berharap agar kubu lawan dapat kehilangan dukungan. Ini sungguh menjadi bencana yang besar bagi Indonesia. Masalahnya adalah, jika berita tersebut menyebar ke seluruh masyarakat, dan pada calon pemilih yang tidak cukup memiliki pengetahuan maka akan sangat mudah terpengaruhi sehingga bakal calon akan kehilangan dukungan dari rakyat. Bahkan sekalipun prestasi yang dimiliki oleh bakal calon tersebut dan kemampuannya yang dimiliki.
Selain itu, Abdillah dalam buku karangannya bertajuk Politik Identitas Etnis (2002), berpendapat bahwa politik identitas juga dapat didefinisikan sebagai ajaran politik yang acuan atau dasar utama ajarannya bertujuan untuk merangkul masyarakat dengan latar belakang yang sama seperti kesamaan suku, ras, etnis, agama, hingga kesamaan gender. Lantas, bagaimana dampak politik identitas itu? Sebagaimana yang dikaji oleh Supratikno (2022), politik identitas tidak teratasi akan berakibat fatal seperti timbulnya konflik sara, radikalisme dan fundamentalisme agama, serta perang politik yang penuh kebencian dan propaganda satu sama lain.
 Isu keagamaan dalam ajang pencarian masa ini memiliki dampak besar yang mungkin saja akan dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab yang bertujuan untuk memecah belah masyarakat Indonesia. Apabila tidak dihentikan, maka akibatnya semangat persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang rendah akan terbuai dan akan berpotensi meningkatnya polarisasi penduduk sampai dengan elite politik.
Selanjutnya, jika politik identitas masih saja dipelihara sebelum, selama, sampai sesudah pemilu maka akan memunculkan lebih banyak konflik dalam sekala kecil sampai besar yang menyebabkan terancamnya persatuan dan kesatuan bangsa (Nawir dan Mukramin, 2019).
Politik identitas yang berlatar belakang agama akhir-akhir ini marak digunakan dalam kampanye politik juga dapat memicu perpecahan antar kelompok umat beragama di Indonesia. Tingginya tekanan dari kelompok radikal agama di Indonesia secra tidak langsung memberikan efek negative untuk pemeluk agama yang lain. Mereka yang minoritas akan merasa terdiskriminasi, sehingga menimbulkan kebencian antara satu sama lain.
Melihat dari pemilu tahun 2019 tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali politik identitas pada pemilu 2024 mendatang. Kejadian tahun lalu memberikan kesempatan besar untuk terus digunakan oleh sekelompok radikal demi kepentingan pribadi. Tidak lain juga golongan-golongan yang memenag menginginkan perpecahan masyarakat Indonesia.
Menghilangkan prkatik politik identitas ini merupakan PR yang sangat penting bagi Indonesia jelang pemilu 2024. Hal ini dikarenakan ada kaitannya dengan kesetaraan hak, persatuan dan kesatuan masyarakat, serta prinsip-prinsip demokrasi. Terlebih konflik SARA adalah suatu hal yang sangat sensitif dijadikan alat untuk kampanye.
Indonesia adalah Negara multicultural dan demokratis, maka sudah sepatutnya masyarakatnya memiliki kesetaraan dalam hak memilih dalam pemilu. Bukan hanya orang orang Jawa yang bisa menjaadi pemimpin Negara, orang luar Jawapun bisa. Bukan pula orang Islam saja yang bisa jadi pemimpin, orang non-muslim pun bisa. Maka dapat disimpulkan seseorang memiliki ham untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada ras, suku, budaya, agama, etnik semata tetapi berdasarkan pada kemampuan seseorang untuk memimpin dan bertangung jawab dalam memimpin serta dapat mengayomi masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H