Mohon tunggu...
Evi Ratnasari Widjaja Hermansyah
Evi Ratnasari Widjaja Hermansyah Mohon Tunggu... -

Menulis untuk mengeluarkan uneg2. Meskipun tidak semua ekspresi bisa diungkapkan dengan tulisan. Hanya ingin mencoba dan sedikit keluar dari rutinitas sebagai accounting.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Tina 1

26 Oktober 2010   02:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:05 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tina , pegawai negeri, teman SMP. Sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak laki – laki, setelah sempat keguguran. Dulu waktu SMP untuk ganti sepatu saja harus nunggu sepatunya jebol, karena keluarganya pas – pasan. Setelah sekian lama jadi PNS dan menikah dengan sesama PNS pula, kehidupan Tina berubah 360°. Sudah punya rumah sendiri meski nyicil 5 tahun. (Waowwww, 5 tahun untuk ambil KPR adalah waktu yang sangat singkat, menurutku ) Berasal dari Klaten, sebuah kota kecil yang terletak diantara Jogja dan Solo. Dan suaminya dari Karanganyar.

HP ku tak pernah sepi karena SMS dari Tina selalu hadir untukku. Yang isinya lebih banyak keluh kesahnya, suamiku aja kalau baca komentar “Ini orang, apa aja kok dikeluhkan sih”. Sebagai istri dan teman yang bijak, aku balas saja dengan senyum. Gak ngerti mau komentar apa.

“Lantai basah kayak banjir, padahal si bibik sudah dikasih tau cara ngepel. Arrgghhhh harus ngulang kerjaan dia kalau gini caranya”

“Ini anak tetangga mau jadi preman apa ya? Pagi – pagi jemur Dhika kok tiba – tiba kepala anakku diremas. Untung si Dhika langsung ditarik si bibik. Eh, udah gitu mau ditendang pula, untung reflekku cepet anakku langsung ke angkat. Telat dikit, bisa remuk tuh muka anakku. Cah wedok kaya preman ( Anak perempuan kayak preman)”

“Gak kerasa hampir setahun nempatin rumah. Gak bisa nabung malah uangnya berkurang terus buat ini itu. Baru mau sedikit bernafas, ternyata harus pesen kitchen set. Belum jadi pesen, ehh ternyata harus beli korden baru, korden ku harus dicuci dan gak punya stock. Haduhhhh, duit kok keluar terus. Punya rumah masak gak bisa ngirit.”

Cuti melahirkan sudah mau habis, kalau lihat Dhika rasanya kok gak tega ninggalin lama – lama. Mau resign, tapi kok nanti aku nggak punya uang sendiri. Haduhhh, coba aku jadi pengangguran tapi digaji suamiku sejumlah yang aku biasa dapat tiap bulan.”

Hari – hariku rasanya tak pernah sepi dengan kehadiran sms – sms dari Tina, yang cukup menghiburku.

*ini hanya cerita saja, kalau ada yang mirip pasti hanya kebetulan saja*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun