Bapak terdiam sambil menyeruput teh tubruk panas. Aku mengintip dari sela-sela pintu kamar. Kulihat wajah bapak murung, mungkin memendam sedih teramat dalam karena anaknya di cap memiliki aura jauh jodoh oleh keluarga besar kami.
"Kalo bapak setuju, emak minta bapak bantu ngomong sama Mara.. dia pasti ga akan mau, pak! Tapi kita harus gimana? Mbak yu mu itu kalo ngomong pedes, nyelekit.. sakit hatiku pak! Anak kita cantik kok, cerdas dia... Emang gusti Allah aja yang belum ngasih laki-laki yang tepat buat Mara.."
Bapak menghela napas. Mengangguk sambil mengelus pundak ibu.
Aku beranjak pelan-pelan menuju tempat tidur. Hatiku sakit melihat emak dan bapak di usianya yang sudah tua masih memikirkan anaknya sampai kesusahan.
Akhirnya, aku putuskan untuk menerima saran Isti. Malam itu juga aku download aplikasi kencan online yang dimaksud dan mengisi semua identitas yang diperlukan.
Malam itu, aku begadang sebelum akhirnya akun Tinder-ku berhasil "match" dengan salah satu profil seorang pria.
Kami memulai obrolan basa basi dan ringan. Kami cocok, aku akui kalau aku merasa nyaman dan happy ketika menghabiskan waktu begadang ku mengobrol bersamanya.
Hanya saja aku terus mengingatkan diriku untuk tidak terlalu terbuka dan tetap berhati-hati sebelum kami bertemu. Dunia maya banyak menipu, aku perlu ingat itu.
Dan setelah beberapa saat obrolan kami hingga bertukar nomor Whatsapp, tibalah hari ini. Hari Minggu yang tak biasa dimana aku akhirnya memberanikan diri bertemu dengannya.
Aris nama lelaki itu. Kami sepakat bertemu di Jakarta, agar adil. Aku tinggal di Bekasi dan dia tinggal di Bogor.
Sengaja aku tidak menyetir sendiri dan memutuskan untuk naik commuter line untuk sampai di tempat yang kami sepakati. Aku mau tampak biasa-biasa saja di awal pertemuan kami. Tidak mau terlalu terlihat mandiri dan memiliki pekerjaan yang mapan.