Sumber daya manusia merupakan faktor utama dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 namun faktanya 'stunting intelektual' pada generasi penerus bangsa menjadi salah satu kendala yang harus dihadapi. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari kualitas pendidikan yang sangat mengkhawatirkan, dimana secara konsisten sejak Tahun 2015 terus menngalami penurunan, bahkan Tahun 2022 merupakan titik terendah dalam 16 Tahun terakhir. Skor PISA oleh OECD pada grafik di atas menunjukkan kualitas sistem pendidikan dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan kehidupan nyata dan kesuksesan di abad 21.
Berbagai usaha oleh pemerintah telah dilakukan, salah satu diantaranya adalah dengan mengalokasikan anggaran pendidikan hingga 20% dari APBN, namun saayangnya usaha tersebut tidak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan Indonesia. Singapura yang lebih dulu menerapkan hal tersebut terbuksi sukses menjadi salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Oleh sebab itu, sebenarnya apa yang menjadi masalah fundamental pada pendidikan di Indonesia?
Dengan berakhirnya pandemi Covid-19, banyak pendapat yang menyatakan bahwa penurunan kualitas pendidikan disebabkan oleh Covid-19, namun perlu diperhatikan bahwa penurunan kualitas pendidikan telah terjadi jauh sebelum pandemi terjadi sehingga tidak sepatutnya 'mengkambing-hitamkan' pandemi Covid-19 sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa rendahnya kualitas guru merupakan permasalahan fundamental di dunia pendidikan.
Kualitas guru di Indonesia yang relatif rendah secara signifikan disebabkan oleh rendahnya kompetensi dan kesejahteraan guru. Tingkat pendidikan guru di Indonesia sangat beragam, mulai dari lulusan SMA hingga pasca sarjana, dengan proporsi terbanyak adalah lulusan diploma dan sarjana. Jika dibandingkan dengan negara yang memiliki tingkat pendidikan terbaik di dunia, maka tingkat pendidikan guru di Indonesia masih jauh tertinggal. Contohnya di Finlandia, hanya pemegang gelar master dari sekolah khusus pengajaran yang memenuhi syarat untuk menjadi guru, dan tidak hanya itu, lulusan 10% teratas juga hanya dapat melamar untuk menjadi guru. Di sisi lain, terkait dengan kesejahteraan guru, Finlandia juga menjadi contoh negara yang berhasil menyejahterakan profesi guru, dimana guru memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, sejajar dengan dokter dan pengacara, bahkan lebih mudah untuk menjadi dokter dan pengacara dibandingkan untuk menjadi guru di Finlandia.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah sistem pendidikan yang saat ini berjalan. Salah satu diantaranya adalah sistem penilaian siswa. Sistem pendidikan Indonesia menekankan pada penilaian yang terstandar secara nasional sedangkan di Finlandia, guru diberikan kewenangan untuk menentukan metode penilaian yang paling sesuai bagi siswanya sehingga hasil penilaian benar-benar menggambarkan kondisi masing-masing siswa dan dapat menunjukkan potensi yang dimiliki. Satu hal yang perlu menjadi perhatian terkait hal ini adalah penerapan best practice tersebut hanya dapat dilakukan oleh guru yang kompeten dan berkualitas.
Kesenjangan sarana dan prasaran pendidikan di Indonesia juga berpotensi menjadi salah satu penyebab, namun hal ini bukanlah sesuatu yang fundamental karena permasalahan tersebut seharusnya dapat diselesaikan dengan relatif lebih sederhana, yaitu dengan menyediakan anggaran cukup untuk pemerataan kualitas sarana dan prasarana pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Berbagai ulasan di atas menjadi pertimbangan utama bagi penulis dalam menyatakan bahwa masalah fundamental pendidikan Indonesia adalah kualitas guru, yang jika dijabarkan lebih lanjut, tidak hanya berkaitan dengan kompetensi mengajar tapi juga bagaimana guru dapat memaksimalkan potensi setiap siswanya serta menerapkan sistem penilaian yang efektif. Salah satu konsep yang relevan dengan hal tersebut adalah ethos-pathos-logos, dimana ethos berhubungan dengan etika (etika/kredibilitas), logos (logika) dan pathos (emosional, termasuk personal branding, kemampuan untuk meyakinkan).
Terkait dengan permasalahan di atas, sesungguhnya kita dapat kembali ke akar pendidikan Indonesia yang pernah dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yaitu ambuka raras angesti widji dimana kesenian menjadi pepucuk dari pendidikan. Kesenian digunakan sebagai alat mendidik utama yang diyakini mampu mendidik secara utuh cipta-rasa dan karsa sang anak (siswa). Integrasi kesenian dapat memaksimalkan potensi siswa karena metodenya yang menyenangkan dan banyak menekankan aspek kerjasama, bukan kompetisi. Singapura dan Finlandia sebagai negara-negara dengan pendidikan terbaik di dunia merupakan contoh negara yang sukses menerapkan metode yang serupa dengan apa yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara.
Singapura telah membuktikan bahwa pendekatan yang menyenangkan membuat siswa dapat menikmati proses belajar serta fokus pada pengembangan kreativitas dan pembentukan pola pikir yang kritis. Sementara di Finlandia, pendidikan fokus pada aspek kerjasama dibandingkan kompetisi (cooperation over competitiveness) juga terbukti meningkatkan kualitas pendidikannya. Oleh sebab itu, apa yang dikemukakan Bapak Pendidikan Indonesia patut untuk diterapkan pada Pendidikan di Indonesia.
Terakhir, dengan menggunakan logic model framework dan rerangka ambuka raras angesti widji, penulis merekomendasikan beberapa program/kegiatan untuk meningkatkan kualitas guru di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H