Mohon tunggu...
Evi SelviaDewi
Evi SelviaDewi Mohon Tunggu... Guru - Guru/SMAN 11 Garut

Calon Guru Penggerak Angkatan 10 Kabupaten Garut

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Budaya Positif (Koneksi Antarmateri Modul 1.4 PGP)

27 Mei 2024   19:52 Diperbarui: 20 Juni 2024   16:01 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan Guru Penggerak merupakan program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan selama 6 bulan bagi Calon Guru Penggerak (CGP). Selama program pendidikan, guru tetap melaksanakan tugas mengajarnya seperti biasa. Sebagai seorang CGP di angkatan 10, saya merasa bahwa ini merupakan suatu kesempatan dan juga keberuntungan karena banyak sekali hal baru yang diperoleh, baik ilmu baru, sharing pengalaman dengan rekan sejawat di berbagai daerah, dan langsung dibimbing oleh Pengajar Praktik dan Fasilitator yang luar biasa. Selama kurang lebih 2 bulan program pendidikan ini berjalan, saya sudah mempelajari 4 sub modul yaitu Modul 1.1 mengenai Refleksi Filosofis Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, Modul 1.2 mengenai Nilai dan Peran Guru Penggerak, Modul 1.3 mengenai Visi Guru Penggerak, dan Modul 1.4 mengenai Budaya Positif. Keempat modul tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga mempelajarinya harus secara berkesinambungan agar mampu diaplikasikan secara menyeluruh dan mampu dipahami secara baik. Dalam modul tersebut, saya dibuat semakin sadar pentingnya seorang guru untuk memahami kondisi lingkungan dan siswa dalam mewujudkan pendidikan berkualitas dan berkarakter profil pelajar Pancasila. Adapun tantangan sebagai calon Guru Penggerak bagi saya adalah mampu menjalankan berbagai peran dan nilai seorang Guru Penggerak, salah satunya menggerakkan ekosistem di sekolah yang mampu berkolaborasi dengan seluruh warga sekolah, mendorong kepemimpinan  murid yang mandiri, aktif dan percaya diri dan mampu melek teknologi. Selain itu, Guru Penggerak harus menciptakan pembelajaran yang berpihak pada murid (student center) sehingga tercipta kondisi student wellbeing di sekolah.

Pada saat mempelajari Modul 1.1  mengenai Refleksi Filosofis Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara pemikiran saya selama ini tentang kodrat seorang murid/anak berubah. Seorang anak/murid memiliki kodrat alam dan kodrat zaman yang berbeda, unik setiap individu. Seorang anak tidak bisa dianalogikan seperti kertas kosong yang bisa kita warnai apa saja, akan tetapi seorang anak saat dilahirkan memiliki kodrat alam yang merupakan bawaan lahirnya, yang bisa kita kuatkan hal baik/positifnya dan mengaburkan hal negatif yang mungkin muncul pada diri anak tersebut dengan pola pendidikan dan pengajaran. Filosofis pendidikan ini merupakan akar/ pondasi/ pedoman yang harus dipahami dan dikuatkan oleh seluruh guru agar tujuan pendidikan mewujudkan profil pelajar Pancasila bisa tercapai. Menurut Ki Hajar Dewantara (2009), "pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya". Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Sebagai seorang guru kita harus mampu mendampingi dan menuntun murid untuk bisa menjadi versi terbaik mereka, hidup sesuai dengan kodratnya yaitu kodrat alam dan zaman untuk mencapai kebahagiaan sebagai manusia seutuhnya sesuai dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara. Menjadi seorang guru harus memiliki kemampuan untuk memberikan contoh budi pekerti yang baik untuk murid dimana budi pekerti ini perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif), sehingga menghasilkan suatu Karya (psikomotor), dan juga mampu merangsang dan menumbuhkan budi pekerti yang baik pada murid. 

Menjadi seorang Calon Guru Penggerak, kita harus mampu mewujudkan murid yang memiliki karakter profil pelajar. Ini merupakan suatu tujuan pendidikan menurut Ki hajar Dewantara, yaitu membentuk karakter profil pelajar Pancasila dalam diri anak Indonesia yaitu Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berakhlak Mulia, Berkebhinekaan Global, Bergotong Royong, Kreatif, Bernalar kritis, dan Mandiri. Dalam perwujudan dari tujuan ini, sebagai guru kita harus mampu memahami dan menjalankan nilai-nilai dan peran seorang Guru Penggerak. Adapun nilai Guru Penggerak yang harus dijiwai oleh seorang guru penggerak yaitu berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif, dan inovatif. Sedangkan peran kita sebagai guru penggerak diantaranya menjadi pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, dan menggerakkan komunitas praktisi. Dalam menjalankan nilai dan peran guru penggerak ini, seorang guru penggerak harus memiliki visi yang jelas sehingga mampu menjalankan nilai dan peran guru penggerak secara optimal dan tujuan dari pendidikan dapat terwujud dengan maksimal.

Di dalam suatu kegiatan tentu kita harus memiliki visi. Begitupun di dalam program Guru Penggerak ini, masing-masing CGP diharuskan untuk mampu memiliki visi masing-masing yang melatarbelakangi setiap kegiatan yang dilakukan. Visi merupakan tujuan masa depan seseorang/organisasi. Dengan adanya gambaran visi akan menentukan arah dan juga pedoman dalam menjalankan suatu kegiatan yang bertujuan terwujudnya visi tersebut. Begitu banyak cara dalam menentukan visi dengan beberapa pendekatan. Dalam Program Guru Penggerak ini, kami diperkenalkan cara merumuskan visi dengan pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA) metode BAGJA. Inquiry Apresiatif adalah suatu landasan/filosofi yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif pada diri seseorang, suatu organisasi dan lingkungan sekitarnya. Pada saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Sedangkan BAGJA adalah tahapan Inquiry Apresiatif sebagai pendekatan manajemen perubahan yang pertama kali diperkenalkan oleh Cooperrider ke dalam langkah 4D yaitu Discover-Dream-Design-Deliver (Cooperider&Whitney, 2005), yang kemudian dalam praktik selanjutnya tahapan Discover dipecah menjadi Define dan Discover ( Cooperrider et.al, 2008). Adapun langkah BAGJA yang dipelajari yaitu:

01. Buat Pertanyaan (B)

digunakan sebagai penentu arah perubahan apa yang diinginkan. Kita bisa bertanya tentang bagaimana peningkatan pencapaian peserta didik di semua kelas?

02. Ambil Pelajaran (A)

dalam melakukan tahapan ini, pengalaman individu atau kelompok dapat diambil

03. Gali Mimpi (G)

tahapan ini menuntut komunitas sekolah termasuk murid, guru, kepala sekolah, dan staf sekolah memberikan pemahaman kalau mimpi atau cita-cita itu penting.

04. Jabarkan Rencana (J)

untuk mencapai gambaran yang diinginkan, pada tahap ini kita dapat mengidentifikasi tindakan yang diperlukan dan mengambil keputusan-keputusan

05. Atur Eksekusi (A)

tahapan ini membantu transformasi rencana menjadi nyata.

Setelah menyusun visi, kita selanjutnya berfokus pada proses mewujudkan visi tersebut. Dalam proses tersebut, kita harus mampu membentuk budaya positif di sekolah. Sebelum menerapkan budaya positif tersebut, sebagai seorang guru kita harus memahami terlebih dahulu mengenai konsep disiplin positif, jenis motivasi perilaku manusia yaitu hukuman (punishment) dan penghargaan (reward), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas dan cara penerapan segitiga restitusi. Konsep-konsep tersebut ada yang sudah terlaksana dengan baik (disiplin positif) karena sudah biasa diterapkan di sekolah, namun ada pula konsep yang masih asing dan baru akan dicoba untuk  diterapkan di sekolah diantaranya yang sedang saya coba terapkan adalah segitiga restitusi. 

Dalam upaya penerapan budaya positif ini ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terutama dalam penerapan disiplin positif. Disiplin positif ini merupakan unsur utama dan pertama dalam perwujudan budaya positif ini, karena memiliki tujuan untuk menanamkan motivasi pada murid untuk lebih menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi ini harus tertanam secara mendalam dalam diri murid-murid kita sebagai motivasi intrinsik yang akan mereka ingat secara jangka panjang, tidak akan membuat mereka mudah terpengaruh walaupun disertai dengan adanya hukuman (punishment) dan hadiah (reward). Murid akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena dengan berperilaku seperti itu mereka akan merasa menghargai diri mereka sendiri, memudahkan mereka untuk bersosialisasi dengan baik, mampu diterima dimanapun mereka berada, dan mampu meraih tujuan hidup mulia yang berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan universal. Nilai-nilai kebajikan universal sendiri berarti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai kebajikan ini berlaku secara universal dan mampu diterima oleh siapapun yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan tersebut.

Dalam setiap perilaku tentu ada alasan dan tujuan yang menyertainya, begitupun perilaku yang terjadi pada seorang murid. Jika ada seorang murid yang menunjukkan perilaku baik ataupun buruk tentu ada alasan dan tujuan dibalik perilaku tersebut. Dalam bukunya Restructuring School Discipline, Diana Gossen  membagi 3 motivasi perilaku manusia dalam berdisiplin, yaitu motivasi untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan (punishment), motivasi mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain (reward), dan untuk menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi disiplin yang paling tinggi kedudukannya adalah motivasi intrinsik yang berasal dari kesadaran sendiri dalam upaya menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya, untuk itu tujuan dari disiplin positif inilah yang perlu ditumbuhkan dalam diri murid-murid kita. Karena dengan motivasi inilah, murid-murid kita akan terus mengaplikasikan nilai disiplin positif ini dalam jangka panjang dan kelak mereka berada di masyarakat akan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Pada dasarnya, kebutuhan dasar manusia ada 5 jenis menurut William Glasser dalam teorinya yang lebih dikenal dengan Choice Theory, yaitu (1). Kebutuhan untuk bertahan hidup (survival); (2). Kebutuhan akan cinta (love and belonging); (3). Kebutuhan akan kebebasan (freedom); (4). Kebutuhan akan hiburan/kesenangan (fun); (5). Kebutuhan akan kekuasaan (power),  (Corey, 2016). Setiap manusia hidup pada dasarnya akan berusaha memenuhi 5 kebutuhan dasar tersebut. Begitupun dengan murid kita di sekolah. Setiap tindakan yang mereka lakukan di sekolah pada dasarnya berhubungan dengan proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut. Sehingga kita perlu mengetahui alasan dan tujuan perbuatan murid kita baik itu perilaku positif maupun negatif sehingga penanganan terhadap setiap perbuatan itu menjadi sebuah solusi tepat dan berdampak positif untuk jangka panjang. 

Sebagai awal terwujudnya disiplin dan budaya positif di sekolah, guru dan murid perlu untuk membuat sebuah kesepakatan yang diyakini bersama. Saat memulai pembelajaran, seorang guru perlu mengingatkan kembali keyakinan kelas pada muridnya agar semua warga kelas bisa menaati keyakinan kelas yang sudah dirumuskan bersama. Dengan adanya upaya ini, diharapkan akan muncul motivasi dari dalam diri murid kita sehingga akan membuat mereka lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalani keyakinannya daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna.  Untuk itu diharapkan dalam merumuskan keyakinan kelas perlu adanya niat sungguh-sungguh yang ingin diupayakan oleh setiap warga kelas sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna, menyenangkan dan jauh dari kata terpaksa belajar. 

Dalam proses penerapan disiplin positif di kelas, tidak lepas dari peran kontrol seorang guru dalam menghadapi setiap permasalahan yang mungkin muncul dalam proses penerapan disiplin tersebut. Adapun 5 macam kontrol yang biasa guru lakukan dalam menyelesaikan permasalahan pada siswa diantaranya penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau dan sebagai manajer. Jika seorang guru berada di posisi penghukum maka seorang guru penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal (perkataan yang menyakiti). Penerapan posisi kontrol guru ini cenderung berakibat adanya rasa takut, trauma ataupun dendam bagi murid yang mengalaminya. Posisi kontrol guru sebagai pembuat rasa bersalah biasanya guru akan bersuara lebih lembut dan merendahkan suaranya. Pembuat rasa bersalah akan membuat keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Murid akan memiliki penilaian diri yang buruk terhadap diri mereka sendiri, merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya. Posisi kontrol guru sebagai teman biasanya memiliki dampak positif maupun negatif. Positifnya timbul kedekatan antara guru dengan murid, namun negatifnya ada rasa ketergantungan dari murid terhadap guru tersebut (murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya). Posisi kontrol guru sebagai pemantau biasanya segala tindakan berlandaskan atas peraturan dan konsekuensinya. Posisi pemantau ini biasanya menggunakan perhitungan (buku poin), catatan pelanggaran, ataupun data lain untuk memberikan konsekuensi yang tepat bagi muridnya yang melakukan tindakan tertentu. Yang terakhir adalah posisi kontrol guru sebagai manajer yaitu posisi paling ideal dilakukan oleh seorang guru dimana disini guru mempersilahkan murid untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, dan mendukung murid untuk menemukan solusi dari permasalahannya sendiri.

Upaya untuk mendukung murid untuk mampu mempertanggung jawabkan dan juga menemukan solusi dari permasalahannya sendiri adalah dengan menerapkan Segitiga Restitusi. Segitiga restitusi ini merupakan tahapan untuk mendukung murid memperbaiki kesalahan sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. Langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam menerapkan konsep segitiga restitusi ini adalah menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, seorang guru akan menanggapi kesalahan yang dilakukan siswa dengan cara siswa mampu mengevaluasi secara internal apa yang sudah dilakukannya, kemudian dituntun untuk dapat memperbaiki kesalahannya (bertanggung jawab secara penuh), dan menemukan kembali kepercayaan dan harga dirinya. 

Setelah mempelajari modul 1 ini, khususnya pada modul 1.4 saya merasa masih jauh dari kata "ideal" sebagai seorang guru. Apalagi setelah mempelajari tentang penerapan disiplin positif, 5 posisi kontrol guru dan segitiga restitusi. Untuk penerapan disiplin positif saya sudah mulai mencoba dengan membuat keyakinan kelas yang sudah saya lakukan di awal bulan lalu. Jika dalam posisi kontrol seorang guru saya masih di posisi sebagai teman dan pemantau, tentu ini akan menjadi bahan acuan saya kedepan agar mampu memposisikan diri sebagai seorang manajer dimana posisi tersebut merupakan posisi ideal bagi seorang guru.

Dalam penerapan segitiga restitusi, sebelumnya pernah saya lakukan walaupun saya belum mengetahui tentang materi segitiga restitusi ini. Adapun yang pernah saya lakukan sebelumnya itu, setelah ditelaah ada langkah yang terlewati dalam prosesnya. Namun setelah mempelajari modul 1.4 ini dan mengetahui istilah segitiga restitusi dan juga tahapannya, saya kemudian mencoba untuk mempraktekannya dengan mengikuti setiap langkah dalam segitiga restitusi tersebut.  Langkah segitiga restitusi ini yang kemudian saya tuangkan dalam tugas Demonstrasi Kontekstual modul 1.4 berupa video yang melibatkan murid dan permasalahan yang dialaminya. Setelah mempelajari modul 1 dengan sub modul 1.1, 1.2, 1.3, dan 1.4, merupakan suatu hal yang sangat berkesan karena banyak sekali ilmu dan pengetahuan baru yang saya dapatkan, dapat berbagi pengalaman (sharing) dengan guru-guru hebat di seluruh daerah dan memperoleh banyak sekali masukan dari Instruktur, Fasilitator,  dan juga Pengajar Praktik yang luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun