04. Jabarkan Rencana (J)
untuk mencapai gambaran yang diinginkan, pada tahap ini kita dapat mengidentifikasi tindakan yang diperlukan dan mengambil keputusan-keputusan
05. Atur Eksekusi (A)
tahapan ini membantu transformasi rencana menjadi nyata.
Setelah menyusun visi, kita selanjutnya berfokus pada proses mewujudkan visi tersebut. Dalam proses tersebut, kita harus mampu membentuk budaya positif di sekolah. Sebelum menerapkan budaya positif tersebut, sebagai seorang guru kita harus memahami terlebih dahulu mengenai konsep disiplin positif, jenis motivasi perilaku manusia yaitu hukuman (punishment) dan penghargaan (reward), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas dan cara penerapan segitiga restitusi. Konsep-konsep tersebut ada yang sudah terlaksana dengan baik (disiplin positif) karena sudah biasa diterapkan di sekolah, namun ada pula konsep yang masih asing dan baru akan dicoba untuk  diterapkan di sekolah diantaranya yang sedang saya coba terapkan adalah segitiga restitusi.Â
Dalam upaya penerapan budaya positif ini ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terutama dalam penerapan disiplin positif. Disiplin positif ini merupakan unsur utama dan pertama dalam perwujudan budaya positif ini, karena memiliki tujuan untuk menanamkan motivasi pada murid untuk lebih menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi ini harus tertanam secara mendalam dalam diri murid-murid kita sebagai motivasi intrinsik yang akan mereka ingat secara jangka panjang, tidak akan membuat mereka mudah terpengaruh walaupun disertai dengan adanya hukuman (punishment) dan hadiah (reward). Murid akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena dengan berperilaku seperti itu mereka akan merasa menghargai diri mereka sendiri, memudahkan mereka untuk bersosialisasi dengan baik, mampu diterima dimanapun mereka berada, dan mampu meraih tujuan hidup mulia yang berlandaskan pada nilai-nilai kebajikan universal. Nilai-nilai kebajikan universal sendiri berarti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai kebajikan ini berlaku secara universal dan mampu diterima oleh siapapun yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan tersebut.
Dalam setiap perilaku tentu ada alasan dan tujuan yang menyertainya, begitupun perilaku yang terjadi pada seorang murid. Jika ada seorang murid yang menunjukkan perilaku baik ataupun buruk tentu ada alasan dan tujuan dibalik perilaku tersebut. Dalam bukunya Restructuring School Discipline, Diana Gossen  membagi 3 motivasi perilaku manusia dalam berdisiplin, yaitu motivasi untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan (punishment), motivasi mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain (reward), dan untuk menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi disiplin yang paling tinggi kedudukannya adalah motivasi intrinsik yang berasal dari kesadaran sendiri dalam upaya menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya, untuk itu tujuan dari disiplin positif inilah yang perlu ditumbuhkan dalam diri murid-murid kita. Karena dengan motivasi inilah, murid-murid kita akan terus mengaplikasikan nilai disiplin positif ini dalam jangka panjang dan kelak mereka berada di masyarakat akan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Pada dasarnya, kebutuhan dasar manusia ada 5 jenis menurut William Glasser dalam teorinya yang lebih dikenal dengan Choice Theory, yaitu (1). Kebutuhan untuk bertahan hidup (survival); (2). Kebutuhan akan cinta (love and belonging); (3). Kebutuhan akan kebebasan (freedom); (4). Kebutuhan akan hiburan/kesenangan (fun); (5). Kebutuhan akan kekuasaan (power), Â (Corey, 2016). Setiap manusia hidup pada dasarnya akan berusaha memenuhi 5 kebutuhan dasar tersebut. Begitupun dengan murid kita di sekolah. Setiap tindakan yang mereka lakukan di sekolah pada dasarnya berhubungan dengan proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut. Sehingga kita perlu mengetahui alasan dan tujuan perbuatan murid kita baik itu perilaku positif maupun negatif sehingga penanganan terhadap setiap perbuatan itu menjadi sebuah solusi tepat dan berdampak positif untuk jangka panjang.Â
Sebagai awal terwujudnya disiplin dan budaya positif di sekolah, guru dan murid perlu untuk membuat sebuah kesepakatan yang diyakini bersama. Saat memulai pembelajaran, seorang guru perlu mengingatkan kembali keyakinan kelas pada muridnya agar semua warga kelas bisa menaati keyakinan kelas yang sudah dirumuskan bersama. Dengan adanya upaya ini, diharapkan akan muncul motivasi dari dalam diri murid kita sehingga akan membuat mereka lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalani keyakinannya daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Â Untuk itu diharapkan dalam merumuskan keyakinan kelas perlu adanya niat sungguh-sungguh yang ingin diupayakan oleh setiap warga kelas sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna, menyenangkan dan jauh dari kata terpaksa belajar.Â
Dalam proses penerapan disiplin positif di kelas, tidak lepas dari peran kontrol seorang guru dalam menghadapi setiap permasalahan yang mungkin muncul dalam proses penerapan disiplin tersebut. Adapun 5 macam kontrol yang biasa guru lakukan dalam menyelesaikan permasalahan pada siswa diantaranya penghukum, pembuat merasa bersalah, teman, pemantau dan sebagai manajer. Jika seorang guru berada di posisi penghukum maka seorang guru penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal (perkataan yang menyakiti). Penerapan posisi kontrol guru ini cenderung berakibat adanya rasa takut, trauma ataupun dendam bagi murid yang mengalaminya. Posisi kontrol guru sebagai pembuat rasa bersalah biasanya guru akan bersuara lebih lembut dan merendahkan suaranya. Pembuat rasa bersalah akan membuat keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Murid akan memiliki penilaian diri yang buruk terhadap diri mereka sendiri, merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya. Posisi kontrol guru sebagai teman biasanya memiliki dampak positif maupun negatif. Positifnya timbul kedekatan antara guru dengan murid, namun negatifnya ada rasa ketergantungan dari murid terhadap guru tersebut (murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya). Posisi kontrol guru sebagai pemantau biasanya segala tindakan berlandaskan atas peraturan dan konsekuensinya. Posisi pemantau ini biasanya menggunakan perhitungan (buku poin), catatan pelanggaran, ataupun data lain untuk memberikan konsekuensi yang tepat bagi muridnya yang melakukan tindakan tertentu. Yang terakhir adalah posisi kontrol guru sebagai manajer yaitu posisi paling ideal dilakukan oleh seorang guru dimana disini guru mempersilahkan murid untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri, dan mendukung murid untuk menemukan solusi dari permasalahannya sendiri.
Upaya untuk mendukung murid untuk mampu mempertanggung jawabkan dan juga menemukan solusi dari permasalahannya sendiri adalah dengan menerapkan Segitiga Restitusi. Segitiga restitusi ini merupakan tahapan untuk mendukung murid memperbaiki kesalahan sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. Langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam menerapkan konsep segitiga restitusi ini adalah menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, seorang guru akan menanggapi kesalahan yang dilakukan siswa dengan cara siswa mampu mengevaluasi secara internal apa yang sudah dilakukannya, kemudian dituntun untuk dapat memperbaiki kesalahannya (bertanggung jawab secara penuh), dan menemukan kembali kepercayaan dan harga dirinya.Â