"Selamat ulang tahun!" seru seseorang di tengah kerumunan dekat jendela. Wajah orang berulang tahun teramat bahagia lalu meniup lilin sambil mengucapkan keinginannya. Namun, di balik kebahagiaan itu, Bu Silvi diam. Dia datang bukan untuk merayakan ulang tahun. Dia hanya membeli makanan di warung makan itu. Matanya berkaca-kaca. Setiap ada orang yang sedang merayakan ulang tahunnya, Bu Silvi selalu menitikkan air matanya. Entah mengapa, tiupan ke api lilin itu seolah memadamkan nyala semangat Bu Silvi. Diam-diam Bu Silvi mengusap air mata dengan bajunya.
"Bu, Bapak pamit sama tole ya!" Pak Hadi berkata sambil memakai jaket kebanggaannya berwarna biru dengan syal yang sebiru lautan itu terkalung di lehernya.
"Hati-hati ya Pak, jaga tole, di sana pasti banyak orang, jangan sampai hilang," ujar Bu Silvi mewanti-wanti suaminya sambil mengelus anaknya.
Rizki sedari tadi bermain HP sambil menunggu Pak Hadi mengeluarkan motor bututnya, tampak sangat senang. Anak semata wayang Bu Silvi dan Pak Hadi teramat menanti-nanti hari ini karena diajak menonton laga kesayangannya. Arema melawan musuh bebuyutannya bertanding di Kandang Singo Edan. Ini merupakan kado ulang tahunnya yang kesepuluh. Ayahnya berjanji akan mengajak anak semata wayang ini di tribun untuk pertama kalinya.
Dengan riang gembira, Pak Hadi dan Rizki berboncengan motor. Mereka berangkat bersama-sama dengan supporter lainnya. Memenuhi jalan raya sepanjang 20 km, berarakan sambil menyanyikan lagu kebanggaannya. Suasana begitu riuh ramai. Genderang bertalu dengan suara teriakan yang mengalahkan kerasnya klakson di jalan raya.
Sesampainya di Stadion, Pak Hadi dan Rizki segera masuk melalui tribun 13. Hiruk pikuk suara para penonton membuat suasana semakin bergemuruh.
Malamnya ibu menanti kedatangan Pak Hadi dan Rizki sambil menyiapkan kue ulang tahun. Memberikan kejutan terindah untuk anaknya yang genap 10 tahun. Lama Bu Silvi menunggu tak kunjung jua datang, hingga Bu Silvi tertidur di sofa.
Tok... tok... tok....
Bu Silvi segera bangun dari tidurnya, melihat jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Bu Silvi segera menyalakan lilin di kue ulang tahun yang telah disiapkan. Sebuah senyum simpul tampak di bibirnya, Bu Silvi berharap Rizki senang kejutan yang diberikan ibunya.
"Oalah Pak, kok jam segini baru pulang, gak kasihan apa sama Rizki." Bu Silvi bergegas membuka pintu.
"Selamat malam, Bu. Mohon maaf menganggu," ucap seorang yang mengenakan baju putih-putih.
"Selamat malam, Pak," Bu Silvi membalas salam, "saya kira suami dan anak lanangku Pak."
Petugas itu menuntun Bu Silvi keluar rumah.
"Ada apa ya, Pak?" Bu Silvi khawatir.
"Ibu... mohon maaf kami mengantar suami dan anak Ibu," Petugas itu menjelaskan dengan nada sangat lirih.
Seketika dunia gelap, melihat kedua orang yang ditunggu-tunggu tinggallah kenangan.
Sudah 40 hari sejak kejadian itu, Pak Hadi dan Rizki selalu berkelebat di benak Bu Silvi. Rasa perih dan sesak di dada selalu menggelayuti Bu Silvi. Bu Silvi mencoba menyalakan kandil semangat hidup, tetapi tetap lekas padam. Tiada kejelasan siapa harus bertanggung jawab atas kejadian itu. Anak dan suaminya telah direngut oleh fakta campur tangan penguasa tak matang mengatur masalah. Penguasa saling menyalahkan satu sama lain. Melemparkan harapan ke sana ke mari. Tanpa ada yang berani menunjuk diri bahwa dialah dalang dalam tragedi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H