Mohon tunggu...
Evi Yustikawati
Evi Yustikawati Mohon Tunggu... -

mencintai buku, film dan kopi\r\n \r\nsedang belajar menulis meskipun seringkali buntu dan tanpa ide :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah obituari untuk Lin

18 Maret 2015   21:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:27 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lin, ketika pertama kali kita bertemu di kampus ketika itu. Tidak butuh waktu lama untuk bisa dekat dengan mu. Aku selalu mengagumi cara mu bercerita, menyukai tawa renyah mu, menyukai caramu bersahabat dengan orang orang, namun aku lebih menyukai hatimu, bagaimana bisa kamu selalu menyebarkan kebahagian untuk orang orang disekitar mu? Bagaimana bisa kamu selalu membuatku tertawa bahkan ketika aku bersedih?

Lin ketika itu aku selalu melihat mu tergesa gesa dan seperti biasa aku selalu melihatmu dari kejauhan, mengagumimu, memperhatikan semua gerak gerikmu, aku selalu tak habis pikir betapa sempurnanya tuhan menciptakanmu.

Lin, mengingatmu seperti mengingat kolat M&M kesukaanmu. Kamu hanya memakan coklat yang berwarna coklat dan memberikan sisanya padaku. Menurut mu, coklat akan terasa coklat jika berwarna coklat. Aku selalu mengingat tentang hal itu.

Lin, aku selalu mengagumimu ketika kamu mengajar anak anak panti tempat dimana kamu berasal dulu, bercanda tawa dengan mereka, mengajari mereka membaca kitab suci, menceritakan tentang kisah kisah para sufi.

Lin, aku salut dengan semangat mu yang selalu menggebu gebu. Bahkan ketika kakimu tak sanggup lagi menopang tubuhmu, ketika satu persatu dari anggota tubuhmu mulai melemah, semanggat itu masih begitu terasa, mengalir lewat semua gerak mu, bercahaya terang melalui matamu yang selalu bersinar.

Lin, ketika saat itu akhirnya kau harus berkusi roda, berat untuk ku untuk melihatmu tetap beraktifitas seperti biasa, bukan kah dokter bilang kau seharusnya beristirahat?
“Hans, kamu tak usah menghawatirkan ku, aku akan baik baik saja, jalan hidupku sudah diaturkan Tuhan dengan sebaik baiknya. Bukankah kewajiban kita hanyalah menjalani takdir kita dengan sebaik baiknya? Hans… aku hanya akan berhenti berjuang ketika Tuhan memanggilku untuk menemui Nya, ketika Ruh ini diambil pemilik nya.” Katamu ketika itu.

Lin, ketika kuungkapkan keinginanku untuk meminangmu, kamu tertawa keras. Menganggap semua yang kuucapkan konyol dan hanya lelucon belaka.
“Hans, jangan bicarakan hal yang tak masuk akal. Aku takut ketika kita menikah, ketika aku tak berkerudung didepanmu, aku hanya akan terlihat menakutkan untukmu. Kamu tahu, rambutku hanya sisa beberapa helai saja, bahkan tubuhku yang kering kerontang ini tak menyisakan lekukan indah, hanya tonjolan tonjolan tulang ditubuhku. Hans… kamu berhak mendapatkan orang lain selain aku” elakmu

Tak tahu kah kau Lin, ketika aku mendengar kata-kata itu, rasa sayang dan cintaku padamu berlipat beratus ratus kali. Melihat ketegaran disetiap perjuangan mu melawan penyakit ganas yang kamu derita bertahun tahun ini.

Lin, keberuntungan terbesarku adalah ketika meyakinkan mu tentang pinangan itu, membuktikan pada orang tua angkatmu bahwa aku akan selalu mencintaimu dan menjagamu sebisaku.
“Hans, jika benar kau mencintaiku, cintailah aku dengan nama Tuhan mu, Cintailah aku karena cintamu pada Nya, dan pinanglah aku dengan syahadat, doa dan keikhlasan.” pintamu

Lin, ketika kamu terbaring di Rumah sakit itu, disaksikan keluarga, anak anak asuh mu, disaksikan dokter dan perawat itu, resmilah aku menjadi imam mu. Menerima hal hal baik dan hal buruk yang akan terjadi pada kita. Tangan mu bergetar saat ku pakaikan cincin itu dijarimu.

Lin, dirumah tepi pantai itu, tempat katamu kau ingin menghabiskan sisa hidupmu. Betapa hati ku selalu behagia bersamamu, melihat matahari tenggelam, berbagi semua waktu yang masih Tuhan berikan untuk kita.

Lin, hari terakhir ku bersamamu, kamu terlihat begitu bahagia, kamu terlihat begitu cantik dengan kerudung putih itu.
“Hans, aku melihat malaikat Nya didepan pintu. Ijinkan ia masuk dan menjemputku menemui Tuhanku. Ikhlaskan aku pergi lebih dulu” bisikmu

Lin itu pertama kalinya kulihat kau menangis, bukan tangisan kesedihan, tapi itu adalah tangisan kebahagiaan karena kau akan bertemu pemilikmu, melepaskan rindumu pada Nya. selamat jalan Lin, selamat beristirahat dengan tenang…


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun