[caption id="attachment_348306" align="aligncenter" width="700" caption="Anak-anak Papua di Mimika (Majalahselangkah.com)"][/caption]
“Fha,Efhaaa….” Teriak teman saya yang suaranya 2 oktaf, memekakan telinga bila mendengarnya. Sambil berlari riang di koridor kampus ia menghampiri saya, jilbab biru laut khasnya terayun, seakan lupa kalau pagi tadi kawan satu kost saya ini tidak sahur karena bangun ketika adzan Shubuh berkumandang. “Ayahku akan bawa buku-buku cerita bergambarku sore ini, nanti habis buka dia berangkat” kata teman saya bersemangat, sejujurnya bila mendengar suaranya saya agak tidak yakin apakah dia ‘berkata’ atau ‘berteriak’. Teman saya yang satu ini memang punya energi yang luar biasa yang siap ditularkan ke orang-orang di sekitarnya termasuk saya. “Baguslah, Bu Kristin berangkat lusa, jadi sempat kita bungkus malam ini” kata saya sambil tersenyum. Kami memang merencanakan untuk menyumbang beberapa buku untuk anak-anak Papua lewat Bu Kristin, wanita batak yang mempunyai warung makan di Wamena dan mengasuh beberapa anak Papua di sana. Kami berencana menitipkan buku-buku tersebut lewat Bu Kristin.
Konflik Papua sudah berpuluh-puluh tahun terjadi, dengan berbagai sebab mulai dari Freeport, perang antar suku, kontak senjata antara OPM dan TNI sampai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan People Power oleh sayap politik OPM. Pihak OPM dengan lantang berkata “Referendum adalah satu-satunya Jalan” pihak TNI pun berkata dengan lantang “NKRI Harga Mati”, hasilnya? Tidak akan pernah selesai. Posisi Indonesia kuat, sedangkan OPM bersikap tidak mau kalah, berbagai cara dilakukan entah lewat meminta kalau tidak mau dikatakan mengemis dukungan dari Eropa dan Australia sampai simbiosis mutualisme dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan, utamanya Vanuatu.
Ketika konflik terjadi, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak, mereka ini bukan bagian dari konflik, mereka adalah korban, anak-anak mempunyai posisi yang paling rentan bila konflik berlangsung. Pemahaman anak sebagai korban konflik tidak hanya sebatas korban jiwa, atau kehilangan orang tua. Dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak (KHA), Hak-hak anak adalah sebagai berikut :
- Hak untuk kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan dan perawatan sebaik-baiknya;
- Hak untuk tumbuh kembang, yang meliputi segala hak untuk mendapatkam pendidikan, dan untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik , mental, spritual, moral dan sosial anak
- Hak untuk mendapatkan perlindungan, yang meliputi perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak-anak yang tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi;
- Hak untuk berpartisipasi, meliputi hak-hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak
Dari UU tersebut dapat ditarik intisari bahwa, anak-anak punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan mereka, konflik di Papua otomatis tidak akan menyediakan hal tersebut. Anne Hanifa dalam penelitiannya mengungkapkan, kondisi psikologis yang dialami anak korban konflik tidak hanya berdampak terhadap kehidupan sehari-harinya saja, melainkan juga terhadap proses belajar. Konflik tidak hanya membuat kondisi anak yang terganggu tetapi kegiatan belajar anak-anak juga terhambat. Anak-anak memperlihatkan gejala malas belajar, tidak bersemangat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas, tidak konsentrasi dan kesulitan mengerjakan ulangan. [1]
Ketika stakeholder pendidikan di kepemerintahan kerap menyalahkan kondisi alam Papua yang penuh dengan gunung sehingga sulit mengalirkan buku pelajaran atau kekurangan guru-guru pengajar di daerah pelosok sebagai kegagalan pendidikan di Papua, saya kira itu tidak tepat. Apakah bila alam Papua tanpa gunung, pendidikan Papua akan maju? Apakah bila ada ribuan guru tambahan pendidikan Papua akan berkembang? Saya rasa perkembangannya tidak akan signifikan sampai perdamaian terjadi di Papua, sampai orang-orang Papua yang gemar mengangkat senjata, mau melepaskan senjatanya untuk menggandeng tangan anaknya. Singkirkan ego-ego sektoral yang mau disebut sebagai tokoh atau yang paling “berjasa” untuk Papua, mari sediakan lingkungan yang layak untuk perkembangan anak-anak Papua.
Epilog
Saya membuka laptop setiba di kost bersama teman saya. Sekilas saya membaca penembakan kembali terjadi di Kampung Danggobak Kalome Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua oleh kelompok sipil bersenjata sasarannya adalah rombongan pengangkut bahan makanan diduga penghadangan ini dilakukan untuk mengganggu dan melumpuhkan perekonomian di wilayah Puncak Jaya. Caranya, dengan indikasi yang diserang adalah para pedagang yang hendak mendorong bahan makanan dari Wamena ke Puncak Jaya.[2]
Sambil menghela napas saya memandang laptop saya yang masih menayangkan berita tersebut. Samar-samar terdengar suara ayah dari teman saya yang datang lebih awal dengan membawa buku-buku bekas yang akan kami kirim ke Papua. Dengan Masygul saya berkata dalam hati "Tuhan, berikan kedamaian di kampung saya, agar buku-buku ini bisa lebih bermanafaat".
[1] Anne Hafina, Konseling Pasca Trauma Melalui Permainan Kelompok. (Bandung: PBB FIP UPI), hlm.1, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._Psikologi_Pend_Dan_Bimbingan/196007041986012-Anne_Hafina/Konseling_Pasca_Traumatik_Malaysia.Pdf diakses pada 17 Juli 2014
[2] http://news.okezone.com/read/2014/07/16/339/1013650/kelompok-bersenjata-hadang-pedagang-di-papua-satu-orang-tewas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H