[caption id="attachment_359655" align="aligncenter" width="624" caption="Warga memasak ikan kuah kuning dan papeda (Sumber : Kompas.com/Wisnu Widiantoro)"][/caption]
Indonesia dikenal sebagai negara dengan lahan Sagu terbesar di dunia, total Indonesia memiliki lebih dari 50 persen lahan Sagu dunia. Saat ini diperkirakan ada sekitar 5 juta hektar lahan Sagu yang tersebar di dunia dan 2 jutanya berada di Indonesia. Dari 2 juta lahan Sagu di Indonesia, mayoritasnya berada di Pulau Papua. Potensi Sagu sebenarnya begitu besar, Direktur Utama PT Perhutani (Persero) Bambang Sukamananto, seperti yang dikutip Kompas.com (4/9) mengatakan bahwa Potensi sagu begitu besar. Permintaan domestik tepung sagu saja mencapai 5 juta ton per tahun, namun baru dipenuhi sekitar 3,5 juta ton. Belum lagi permintaan pasar mancanegara yang juga tak kalah besar.
Hal yang ironis adalah, sebagai negara dengan potensi Sagu yang begitu besar ini belum dikelola dengan baik hingga saat ini produksi Sagu Indonesia masih kalah dengan Malaysia yang memang sudah mengindustrialisasi Sagu sejak 1969. Selain itu, ironi lainnya adalah warga Papua, sebagai tempat utama lahan Sagu sedunia sampai saat ini masih kesulitan membeli tepung Sagu, padahal lahan Sagu di Papua begitu melimpah. Hal ini disebabkan, dengan pengolahan secara tradisional, butuh 10-14 hari untuk megubah pohon sagu menjadi tepung sagu yang kemudian bisa diolah menjadi bahan makanan.
[caption id="attachment_359658" align="aligncenter" width="621" caption="Pembuatan Sagu secara tradisional (Sumber : diolah dari Harsanto, P.B., 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.)"]
Potensi yang besar tapi selalu diiringi oleh ironi ini memang seperti menjadi hal yang biasa di Indonesia. Tetapi paling tidak, masalah “Ironi Sagu” ini pemerintah cepat sadar. Perusahaan BUMN kehutanan, PT Perhutani (Persero) tengah membangun pabrik sagu sebagai bisnis baru Perhutani. setelah mendapatkan restu dari pemerintah dan Kementerian BUMN untuk mengelola lahan seluas 15.000 hektar di kawasan Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan. Dengan investasi sebesar Rp 112 Miliar, pabrik sagu modern pertama di Indonesia dan diklaim akan menjadi Pabrik Sagu terbesar se Asia Tenggara ini akan beroperasi penuh pada Maret 2015 ini akan memproduksi 30.000 ton Sagu pertahun pada 2017.
Potensi Sagu Dalam Ketahanan Pangan
Selama ini orang-orang Indonesia terlalu “setia” kepada padi, kalau belum makan nasi maka dianggap belum makan. Padahal secara ekonomi, Sagu lebih produktif dibandingkan Padi. Sebagai contoh untuk menghasilkan 30.000 ton beras, maka akan dibutuhkan 12.000 juta Hektar. Sedangkan untuk menghasilkan 30.000 ton Sagu hanya dibutuhkan 1 Juta lahan. Itu dalam segi ekonomi. Bila dilihat dari segi gizi, sebagai sumber energi, sagu setara dengan beras, jagung, singkong, kentang, dan tepung terigu. Untuk lebih tepatnya silahkan liat tabel di bawah.
[caption id="attachment_359656" align="aligncenter" width="630" caption="Perbandingan gizi dalam Sagu (Sumber : http://beranda-miti.com/)"]
Sayangnya hanya 10 persen dari rakyat Indonesia yang mengkonsumsi Sagu dan 90 persen lainnya menjadikan beras sebagai bahan kebutuhan pokok. Padahal komoditas beras seringkali dipenuhi dari impor. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertanian, Suswono kepada politikindonesia.com usai membuka Forum Grup Diskusi bertema "Sagu Sebagai Komoditas Potensial, Pilar Kedaulatan Pangan dan Energi di Kantor Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian, Jakarta, Senin (15/09). Sayangnya ketika Pemerintah sadar bahwa wilayahnya memiliki potensi besar dalam Sagu tetapi rakyatnya tidak mengkonsumsi Sagu, pemerintah tidak pernah mengkampanyekan Sagu itu sendiri kepada rakyatnya. Tanpa dikampanyekan, tanpa dipromosikan apakah pemerintah berharap bahwa rakyat dengan sendirinya berganti dari beras ke sagu?
Potensi Sagu Dalam Perkembangan Ekonomi Lokal
Pembangunan di Pabrik Sagu di Sorong nanti berpotensi akan menumbuhkan Multiplayer Effect dalam perekonomian rakyat Papua, bila pemerintah benar-benar bisa mengelola dengan baik. Infrastruktur yang baik, tidak hanya untuk keluar tapi juga untuk masuk ke pabrik dari lahan-lahan milik warga lokal sehingga warga lokal dengan mudah menjual hasil kerjanya ke pabrik tanpa harus memberikan kepada cukong-cukong, sehingga petani lokal bisa langsung merasakan buah dari pembangunan pabrik tersebut. Selain itu, dibukanya jalan masuk akan membuka interaksi langsung antara penanam modal, dalam hal ini pemerintah pusat dengan rakyatnya di pelosok yang selama ini agak terkendala di Papua.
Potensi Sagu Dalam Pencegahan Pencemaran Lingkungan
Proses pengolahan hasil Sagu secara tradisional dapat menyebabkan buangan limbah yang dapat merusak lingkungan karena tidak mampunya usaha kecil untuk mengolah limbah tersebut dengan baik. Limbah dari pengolahan Sagu dapat dibilang besar, menurut Djoefrie (2003), limbah sagu yang dihasilkan dari proses pengolahan sagu, baik berupa kulit batang dan ampas diperkirakan mencapai volume 72 persen dari Sagu. Oleh karena itu, jika diasumsikan bahwa dari satu hektar lahan sagu diperoleh pati sagu sebanyak 30-60 ton, maka limbah sagu yang dihasilkan mampu mencapai 120-150 ton. Dalam pengelolaan Sagu secara tradisional, limbah ini kurang mendapatkan perhatian sehingga akan berpotensi merusak lingkungan.
Sedangkan dengan adanya pabrik Sagu di Sorong, limbah dari pengelolaan Sagu tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bahan bakar alternative. Bahkan Bambang Sukamananto mengatakan bahwa limbah Sagu dari pengelolaan Pabrik Sagu di Sorong akan djadikan Biomassa yang kemudian akan dijadikan bahan bakar untuk operasional Pabrik dan warga sekitar.
Kesimpulan
Penulis melihat, pembangunan Pabrik Sagu ini adalah contoh pembangunan yang tepat di Papua, karena pembangunan tidak hanya melihat potensi dari Pulau Papua tetapi juga melihat kebutuhan dari rakyat Papua, sehingga hasilnya berpotensi akan dirasakan langsung oleh rakyat Papua, tinggal bagaimana pemerintah menjalankan program yang memang sudah bagus ini.
Saat ini, Sagu memang bukan menjadi komoditi yang penting di dunia, tapi Indonesia selaku negara yang berpotensi untuk memimpin produksi Sagu dunia berkesempatan untuk memperkenalkan Sagu pada dunia. Kita masih ingat bagaimana Nelson Mandela, seorang pejuang Apartheid begitu mengidolakan batik yang dikenalkan oleh pemerintahan Soeharto pada lawatan pertama ke Indonesia tahun 1990-an. Batik kemudian menjadi simbol kedekatan Indonesia dengan Afrika Selatan. Atau kedekatan hubungan Indonesia dengan Korea Utara di masa pemerintahan Soekarno yang ditandai dengan dijadikannya bunga anggrek asal Makassar pemberian Soekarno sebagai simbol negara Korea Utara oleh Kim Il Sung yang kemudian bunga itu dinamai Kimilsungia.
Ketika anggrek dan batik bisa memainkan perannya dalam diplomasi Indonesia, Sagu juga berpotensi memainkan perannya. Langkah awalnya adalah rakyat Indonesia harus mengenal dan bangga dulu terhadap Sagu, jangan menganggap Sagu hanya sebagai makanan orang Papua
Djoefrie, H.M.H.B. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternative dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Hal-69
http://www.antaranews.com/berita/138747/bunga-kimilsungia-simbol-perekat-indonesia-korea-utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H